Pertempuran Sidobunder 2 September 1947 – Kec. Puring, Kebumen
Desa Sidobunder terletak 10 Km sebelah selatan kota Gombong. Desa ini kini masuk dalam wilayah Kecamatan Puring. Sejak Agresi Militer Belanda I, di bagian Barat desa terdapat pos-pos Pertahanan Garis Lini Sektor Selatan. Desa Sidobunder dilalui oleh sungai Kemit dari kanal Tirtomoyo yang membelah menjadi Sidobunder bagian Barat dan Sidobunder bagian Timur. Sungai ini di desa Kemit sendiri airnya bening dan mengendakan pasir, kerikil dan krokos/kerakal. Namun di desa Sidobunder, airnya keruh dan berlumpur, apalagi kalau banjir, menggenangi sawah dan pekarangan sehingga halaman rumah penuh air.
Desa Sidobunder pernah mengalami serangan tentara Belanda sampai delapan kali diantaranya:
- Pada suatu hari saat istirahat, Hadi Soewarno memberitahu anggota TP (Tentara Pelajar) terdahulu yang sedang asyik mencari ikan di selokan bahwa ada patroli Belanda NICA tetapi mereka tidak percaya dan mengira itu partoli teman sendiri. Betapa terkejutnya mereka karena setelah dekat baru diketahui bahwa yang datang ke arahnya adalah pasukan Belanda NICA. Akhirnya mereka pun ditangkap dan disiksa.
- Pada hari Selasa akhir Agustus 1947 pukul 09.00 Wib di pos pertahanan TNI sebelum anggota TNI sempat sarapan, Belanda melakukan penyerangan yang menyebabkan banyak gugurnya anggota TNI termasuk Komandan Kompi Letnan II Soemari yang baru saja menggantikan Kompi Letnan I Dimyati (mantan Lurah Kebumen) Batalyon 64 serta lima orang penduduk tewas. Letnan Soemari gugur disergap Belanda pada awal serangan, jenazahnya dimakamkan di desa Krakal tempat kelahirannya. Untuk menghindari korban lebih banyak, tentara RI mundur ke daerah Sugihwaras (kini masuk wilayah kecamatan Adimulyo).
Kisah Pertempuran Sidobunder dimulai pada akhir Agustus 1947. Ketika itu Moedoyo Sekretaris Batalyon 300 Detasemen II TP Yogyakarta datang ke markas Kompi 330 pimpinan Letnan Wiyono yang menempati Hotel Van Laar Purworejo, membawa perintah Komandan Batalyon 300 Martono (Menteri Transmigrasi di era Soeharto; ia lahir di Karanganyar – Kebumen) perihal suatu penugasan bagi pasukan TP Yogyakarta untuk menggunakan TP yang ada di Front Gombong. Adapun yang mendapat tugas adalah seksi 321 Anggoro dari Kompi 320 Tjok Saroso Hoerip TP Yogyakarta (terakhir Marsekal Pertama AURI). Anggota TP mayoritas berasal dari anak-anak SMA Kota Baru (Keluarga Pelopor Padmanaba) dan pelajar asal Sulawesi anggota pasukan Perpis (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi). Pada saat itu pasukan pelajar Perpis baru saja menyelesaikan pelatihan militer di Wates. Persenjataannya lengkap, menyandang Bedil Popda serta Bren Gun (sejenis senjata otomatis), pakaiannya sudah berseragam hijau. Kabarnya perlengkapan tersebut diberikan oleh Jenderal Mayor Abdoel Kadir.
Pasukan seksi 321 berangkat dari Yogyakarta menggunakan kereta api dan turun di stasiun Kebumen menghampiri pasukan pelajar Perpis pimpinan Maulwi Saelan. Markas Darurat Tentara Pelajar di Kebumen sebagai pusat komando lapangan menggunakan rumah dinas Kepandhitan Gereja Kristen Jawa Panjer sedangkan aula digunakan sebagai asramanya. Adapun Markas Tentara Pelajar Kebumen berada di Kauman (kini menjadi SMP Muhammadiyah I). Dari Panjer – Kebumen perjalanan diteruskan berjalan kaki, ada juga yang naik gerobak kuda yang rodanya tinggi dengan roda besi (kini sudah punah). Seksi 321 tiba di Sidobunder pada tanggal 31 Agustus 1947. Bersamaan dengan TP Sulawesi/Perpis pimpinan Maulwi Saelan dan beberapa TP Purworejo yang menggabungkan diri. Setelah melapor kepada Perwira yang bertugas dan Kepala Desa Sidobunder, pasukan dijamu dengan “Noni Bungkus (nasi bungkus)” khas ala jaman Repiblik (saat itu Republik sering diucapkan Repiblik). Noni tersebut segera diserbu oleh seluruh anak TP yang sudah lapar dan lelah yang lagi semega – semeganya (senang – senangnya makan). Pasukan Seksi 321 ditempatkan di sini untuk menggantikan pos pertahanan TP I Sidobunder dan Puring yang dipimpin oleh Soemardi. Markasnya berada di rumah Kartowiyoto (sekarang Gedung Sekolah Dasar Inpres).
Malam itu tampak banyak obor yang mencurigakan di seberang sawah. Namun, Kepala Desa menerangkan bahwa itu adalah penduduk yang sedang mencari Jangkrik, belut, ikan kutuk bayong sawah, dan katak hijau yang sangat bergizi. Situasi dianggap aman, Komandan Seksi kemudian mengijinkan anak buahnya untuk beristirahat. Selesai istirahat, Seksi 321 membagi peralatan dan menempati tempat tugas di beberapa titik misalnya ada yang bertugas jaga di Dukuh Sidobunder Tunjungan. Regu I Poernomo (DJokonomo) dan Regu II Djoko Pramono bertugas mengawasi jembatan Sidobunder. Pemegang Bren Gun ditempatkan di Kanan pos pertahanan. Sedangkan Perpis di sebelah Selatan menempati pertigaan dekat lumbung desa (sekarang daerah tugu Sidobunder). Di sebelah Utara pertahanan TP adalah kedudukan pertahanan Hizbullah dan AOI (Angkatan Oemat Islam).
Keesokan harinya, pada tanggal 1 September 1947 dua anggota Seksi Anggoro beserta empat pasukan Perpis antara lain Losung menuju ke Karangbolong untuk mengecek kebenaran berita bahwa Belanda sudah berada di sana. Sejauh titik batas pandang pengintain terlihat tiga serdadu Belanda sedang tugas jaga dan satu orang sedang mandi di sumur timba (pada saat itu, sumur umumnya dikelilingi pagar hidup atau Turus yang tumbuh setinggi dada atau bahu). Pada malam harinya sampai saat peralihan waktu ke tanggal 2 September 1947 keadaan cuaca sangat buruk, langit mendung, dan guruh bergemuruh bersaut – sautan. Hujan lebat pun kemudian turun, sungai menjadi banjir, sawah dan kebun tergenang air. Komunikasi antarpasukan sulit dilakukan. Komandan regu I Djokonomo disertai Iman Soekotjo memeriksa anak buahnya. Setelah dipastikan aman, keduanya mencari tempat berteduh di sekitar jembatan dan mendapatkan sebuah kandang kerbau yang kosong. Sekitar pukul 01.00 Wib Soekiman dan 9 TP Sulawesi di pos pertahanan Perpis di sekitar pertigaan (sekitar tugu peringatan Sidobunder) mendengar suara aneh “Uuk” yang kalau didekati ternyata tidak ada apa – apa. Selanjutnya terdengar suara tersebut di tempat yang lain. Selanjutnya Soekiman dan 9 TP Sulawesi didatangi perempuan berpakaian Jawa mengantarkan wedang kopi panas dan singkong. Soekiman curiga kepada orang tersebut. Disuruhnya perempuan itu cepat pergi karena Ia teringat kejadian di salah satu pos pertahanan dimana ada empat prajurit TNI meninggal karena ulah mata – mata musuh yang mengantar makanan dan kopi panas.
Keesokan harinya, pada pagi – pagi buta rakyat dikejutkan oleh suara tembakan. Perpis sudah dikepung. Setelah mepelajari situasi Komandan Sie 321 Anggoro memutuskan agar pasukan yang terkepung segera melakukan stoot ke arah Timur guna meloloskan diri dari kepungan musuh. Untuk menyiapkan rencana pergerakan tersebut terlebih dahulu Maulwi Saelan dan anak buahnya yang diperkuat dengan sebuah Juki (senapan mesin Made In Japan) diperintahkan untuk menggagalkan serangan dari arah Timur atau paling sedikit menghambat gerakan Belanda dari arah tersebut. TP Soejitno oleh Komandan Sie ditugasi untuk menghubungi pertahanan terdepan dibawah pimpinan Poernomo (Djokonomo) agar segera menarik mundur pasukannya dan menggabungkan diri dengan induk pasukan yang berada di pusat desa Sidobunder.
Gugurnya Ridwan, Koenarso “Kampret” dan Achmad
Komandan Seksi 321 Anggoro segera membagi granat serta tambahan peluru. Seorang kurir MBT tanpa senjata bernama Achmad (masih muda orangnya) yang pada saat itu kemalaman bergabung dalam TP dan diberi granat. Namun ia memilih kareben pegangan Anggoro. Anggoro pun memberikannya. Mundurnya pasukan Hizbullah dan AOI telah membuka jalan Belanda. Prajurit TP Ridwan dengan senjata Bren berhasil menyapu serangan Belanda gelombang pertama. Gelombang kedua pun dapat dibabatnya. Namun pada serangan gelombang ke tiga Ridwan tertembak Belanda dan gugur seketika. Senjata Bren kemudian diambil oleh Kampret. Bersama dengan Acmad, Kampret berhasil menghambat serangan Belanda dari arah Utara. Akan tetapi akhirnya kedua prajurit pejuang itu pun gugur. Kampret memiliki nama asli Koenarso. Ia adalah teman satu sekolah R.G. Soedarsono di SMP Gombong yang sering memanggilnya “Mas Koen” karena usia dan angka kelasnya lebih senior.
Pasukan pelajar Perpis dengan senjata dan seragamnya yang lengkap berusaha keras menghambat serangan pasukan Belanda dari arah Timur. Namun serangan Belanda datang begitu gencarnya. Bahkan pasukan Perpis pun akhirnya dapat terkepung. Maulwi Saelan masih bisa meloloskan diri dari kepungan Belanda dengan cara melepas bajunya sehingga kelihatan kulit badannya yang kuning langsat sehingga dikira sebagai Sinyo Belanda yang tengah bersama pasukannya.
Penyerangan Belanda terus berlangsung hingga menjelang siang hari dengan bayonet terhunus di ujung larasnya. Regu I Djokonomo (Purnomo) pun datang dari pos terdepan untuk bergabung dengan pasukan induknya dan terus bersama – sama mengadakan perlawanan secara sengit. Pasukan TP berusaha menggeser pertahanannya ke sebelah Selatan tetapi Belanda sudah menghadang. Anak – anak TP tetap teguh dan terus mengadakan perlawanan dengan gigih sampai akhirnya mereka benar – benar kehabisan peluru. Mereka tidak menyerah, pertempuran berlanjut dengan perkelahian satu lawan satu menggunakan sangkur sehingga banyak berjatuhan korban. Dari 36 orang anggota seksi 321, hanya 11 orang yang hidup antara lain mereka yang bertahan di sudut desa dan berpura – pura mati dengan tidur di samping kawannya yang telah berlumuran darah. Ada juga anggota TP yang keningnya terluka kena goresan telapak sepatu Belanda yaitu prajurit TP Imam Soekotjo dan ada yang selamat karena bersembunyi di bawah lesung. Para pasukan TP yang bergeser ke sawah sebelah Selatan semua gugur kecuali Alex Rumambi (Mantan Duta Besar RI untuk Belgia). Ia yang pada saat itu tertembak diselamatkan seorang warga petani bernama Kramasentana dengan ditutupi tumpukan jerami di sawah Selatan sebelah barat jalan. Setelah Belanda pergi Alex Rumambi diambil oleh petani tersebut dari tumpukan jerami di sawah dan diobati. Adapun para pejuang yang selamat adalah mereka yang bergeser ke Utara termasuk didalamnya adalah Suwarsono anggota TP Kebumen (pensiunan Kepala Puskesmas Kembaran – Kebumen) beserta enam anggota lainnya yang berada di gerumbul makam di tengah sawah Utara Sidobunder.
Gugurnya Losung dan La Indi
Herman Fernandez, La Sinrang (tahun 1979 berpangkat Mayor; anggota DPRD Wajo Sulawesi), Losung dan la Indi merupakan anggota Perpis Maulwi Saelan. Pada peristiwa pertempuran tersebut mereka terpisah dari pasukannya. Setelah berhasil melalui tembakan – tembakan musuh dan melewati persawahan yang tergenang air (banjir), mereka bertempur dalam jarak sangat dekat di areal perkebunan kelapa melawan pasukan Belanda yang dikomando oleh seorang opsir. Losung dan la Indi pun gugur di tempat tersebut karena kehabisan peluru. La Sinrang dan kakaknya (Herman Fernandes) yang ketika itu berada di balik semak sempat mendengar suara Losung yang berteriak “Jangan Tembak Oom…peluru habis!” Kemudian suara dari Belanda “Cukimai Kawanua, Budak Soekarno!” dan disusul rentetan tembakan pengantar kematian Losung.
Tertangkapnya Herman Fernandez dan La Sinrang
Herman Fernandez yang merupakan penembak senapan mesin pasukan Maulwi Saelan pun kehabisan peluru. Tidak lama dari tembakan Belanda yang ditujukan kepada Losung, Herman Fernandez dipergoki oleh Opsir Belanda yang berteriak “God verdom zeg Ambonese, angkat tangan!” Herman Fernandes berteriak “Inlander!” Kemudian dari arah lain La Sinrang nembakkan peluru yang tinggal satu – satunya melesat menembus dada opsir Belanda tersebut dan roboh seketika. Keduanya kemudian lari terpisah. La Sinrang membuang senjata panjangnya dan mengambil Stegun milik rekannya yang telah tewas. Ia mengira stegun tersebut masih ada pelurunya. Tidak lama kemudian mucullah tentara Belanda dari jurusan Puring dan berteriak “Angkat Tangan!” Setelah diketahui stegun yang ia pegang juga tanpa peluru, La Sinrang pun berteriak “Tidak ada peluru!” Ia dihujani tembakan tetapi anehnya tidak mengena. Kemudian salah satu tentara berteriak “Ambonese”! Dan segera memukul jatuh La Sinrang serta menusuknya dengan bayonet. La Sinrang pun diikat, diseret menyeberang sungai dan diangkut menggunakan truk menuju Gombong. Kejadian tersebut sempat disaksikan oleh beberapa penduduk setempat diantaranya seorang anak bernama Rasikun (nama tuanya Mat Musin; mantan Kepala Desa Sidobunder). La Sinrang ditahan di bagian rumah belakang (pasca gencatan senjata rumah tersebut ditempati salah seorang pejabat ABRI Gombong) bersama dua orang dari BPRI dan ALRI Sumpyuh. La Sinrang diobati oleh seorang juru rawat puteri. Juru rawat tersebut berbisik “Bung dari TP?” La Sinrang pun menjawab “Ya” dan juru rawat itu pun berkata “Nanti saya tolong obati, keluarga saya ada di Yogya.”
Korban Warga
Korban warga tidak terlalu banyak karena pada awal pecahnya pertempuran mereka segera mengungsi. Warga pemuda yang awalnya telah berkumpul membawa senjata seadanya untuk menghalau Belanda berhasil dibubarkan oleh Kartowiyoto. Ia sendiri akhirnya tertangkap Belanda dan disuruh “njengking” (nungging) kemudian tewas seketika setelah ditembak anusnya.
Pertempuran usai sekitar pukul 11.00 Wib. Pukul 12.45 Wib TP Soemitro (Marskal) dan TP Wahyu Widodo berpapasan dengan dua bapak tani memikul usungan bambu berisikan jenazah Hary Soeryoharyono di jalan sebelum desa Tegalsari. Pukul 12.55 Wib di desa Tegalsari mereka kembali berpapasan dengan dua bapak tani memikul usungan bambu yang memuat Alex Rumambi yang terluka parah kena tembak dan sayatan.
Maulwi Saelan berhasil selamat dan tiba di markas Karanganyar. Ia diperintahkan kembali ke Sidobunder untuk mencari jenazah teman – temannya yang gugur. Dibantu orang India anggota pasukan International Brigade, Maulwi dan beberapa anggota kompi pun menuju Sidobunder. Karena Belanda masih berkeliaran di sekitar desa dan sawah serta pekarangan yang tergenang air, maka pada hari itu hanya jenazah Kartowiyoto (warga yang rumahnya dijadikan markas TP) saja yang bisa dimakamkan. Keesokan harinya, tanggal 3 September 1947 jenazah – jenazah yang berserakan di sawah dan pekarangan dikumpulkan, ditutupi dengan daun pisang, dan dibawa ke desa Sugihwaras yang juga dijadikan pertahanan TP dan basis rakyat pejuang. Selanjutnya dengan “Risban Engkrak” yang terbuat dari bambu, jenazah ditandu untuk dibawa ke Karanganyar lalu diangkut dengan kereta api menuju ke Yogyakarta dan disemayamkan di Gedung Badan Penolong Keluarga Korban Perang di Secodiningratan Yogyakarta. Di stasiun Tugu Yogyakarta para penjemput dan pelayat sudah menanti dengan suasana penuh berkabung. Keluarga para korban, pelajar SMP 1 Terban Taman, SMP II, SMP Bopkri, STM Jetis, Taman Siswa, SMT Kota Baru (Keluarga Pelajar Padmanaba) yaitu asal sekolah anggota pasukan Tentara Pelajar yang gugur, dan tidak ketinggalan pula dengan penduduk ibukota perjuangan RI tersebut ikut menjemput di stasiun Tugu. Menuju tempat peristirahatan terakhir di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa, semakin berbondong – bondong penduduk Yogyakarta berjajar di Kanan dan Kiri jalan yang dilalui jenazah Pahlawan. Para pelajar Yogyakarta berjajar rapi berdiri di tepi jalan untuk memberi penghormatan terakhir kepada para pahlawan yang masih sangat muda yang gugur mempertahankan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Para anggota Tentara Pelajar yang gugur antar lain:
- Abunandir
- Achmad Suryomiharjo
- Ben Roemayar
- Bayu
- Djoko Pramono
- Haroen
- Kadarisman
- La Indi
- Laksoedi
- Koenarso (Kampret)
- Losung
- Djokonomo (Purnomo)
- Pramono
- Rahmat
- Ridwan
- Pinanggur Beni
- Soegiyono
- Soehapto
- Soepadi
- Soeryoharyono
- Tadjoedin
- Wiliy Hutahuruk
Sedangkan korban penduduk yang tewas adalah:
- Ny. Ardjowinangun
- Damiun
- Kartowiyoto (pensiunan Carik Gade, rumahnya sebagai markas TP)
- Madjani (mantan Polisi Desa Sidobunder)
- Meran alias Madkarta
- Ngalimun
- Sungkowo (guru SD Sidobunder)
- Sawal
- Sawikrama
- Paing alias Bajang, dari Banjareja Puring, berada di pasar Sidobunder.
Di samping itu, ada juga korban luka di bibirnya hingga hilang tak berbibir (meninggal pada tahun 1960).
Pertemuan La Sinrang dan Herman Fernandez di Dalam Bui
Setelah lukanya membaik La Sinrang mendapat pertanyaan apakah ia kenal dengan Fernandez. La Sinrang pun menjawab “Ya.” Sekitar dua minggu kemudian La Sinrang dipindahkan ke penjara. Di situlah ia bertemu dengan Herman Fernandez (kakaknya). Pada suatu hari mereka dibawa ke kantor MP (Militaire Politie) dan diperiksa dengan disaksikan seorang Pastor Belanda serta seorang yang memotret kedua tahanan TP itu. Setelah pemotretan dan Pastor Belanda pergi, La Sinrang dan Herman Fernandez yang bisa berbicara lancar menggunakan bahasa Belanda tersebut dipukuli dan dimaki “Anjing Sukarno!” La Sinrang kemudian ditanya “Apa kamu tembak Kapten Nex?” Ia menjawab “tidak tahu! Karena pertempuran.” Saat itulah ia tahu bahwa ternyata yang ditembaknya adalah Kapten Belanda dan tiga orang tentara Belanda dari suku Ambon dan Timor. Kemudian La Sinrang dan Herman Fernandez ditanya “mana senang Negara Indonesia Timur atau Negara Yogya?” Fernandez menjawab “Kami kenal dan kami pertahankan hanya satu Negara Republik Indonesia!” keduanya pun kembali dipukuli.
Pesan dan Kematian Herman Fernandez
Pada suatu ketika Herman Fernandez berkata kepada La Sinrang bahwa ia dituduh keras menembak Kapten Nex, sedang adiknya (La Sinrang) tidak karena senjata senjata yang ia pegang laras panjang sementara La Sinrang tertangkap membawa stegun. “Tetapi tidak apa, adik jangan takut mati. Mati ditembak Belanda lebih baik daripada mati konyol.” Dengan bercucuran air mata La Sinrang mendengarkan pesan terakhir dari kakaknya:
“Mungkin saya tidak hidup lama lagi. Pastor Belanda memberi saya kitab suci dan menyuruh saya selalu bersembahyang. Pastor memberitahu bahwa saya akan ditolong, tetapi selalu melawan. Saya sudah mimpi tidak enak. Adik saya doakan tetap selamat. Kalau nanti saya ditembak mati, tolong sampaikan salam saya kepada teman – teman dan tunangan saya di Magelang di asrama Katolik.”
Beberapa hari setelah pesan itu, pada suatu malam Herman Fernandez diambil oleh tentara Belanda dan tidak kembali lagi.
Pada bulan April 1948 La Sinrang dipindahkan ke penjara Sumpyuh kemudian ke Banyumas. Dalam pemeriksaan, atas perlindungan Tuhan Yang Maha Esa, ia ditolong oleh tentara Belanda hitam asal Buton bernama Lambia sehingga tidak jadi ditembak mati.
*video ini dipersembahkan oleh ngapakbae.com bekerjasama dengan KODIM 0709/Kebumen bersama Yayasan Wahyu Pancasila dan KAPANANE.
Sebagai tanda peringatan dan penghormatan bagi para pahlawan TP serta korban penduduk dalam pertempuran Sidobunder, di pertigaaan jalan Sidobunder didirikan Tugu Pertama pada tahun 1959. Pada tahun 1984 dibangun Monumen Balai Desa berbentuk Joglo di belakang Tugu Pertama (di sebelah Utara dekat Tugu Pertama). Dalam peresmian Monumen Balai Desa oleh Menteri Transmigrasi RI Martono (eks Komandan Detasemen III TP Brigade XVII), dihadiri juga warga TRIP Jawa Timur antara lain Mayjen. (Purn.) Soebyantoro (Toret) eks Komandan Kompi TRIP Detasemen I Brigade XVII Jawa Timur, mantan Duta Besar RI di Belgia Alex Rumambi (eks Pasukan Pelajar Perpis), dan beberapa Menteri eks TP yaitu: Menteri Perhubungan RI Marsekal Roesmin Noeryadin, mantan KASAU Letjen. TNI Ali Said, SH, mantan Jaksa Agung dan Ketua MA, serta mantan Menteri Sosial RI Nani Soedarsono, SH. Pada acara tersebut terjadi peristiwa yang sangat mengharukan. Alex Rumambi mencari Kramasentana yang pernah menyelamatkannya. Pertemuan kembali tersebut dilanjutkan dengan nostalgia masa peperangan di Sidobunder. Pada masa kepemimpinan Bupati Kebumen Rustriningsih, dibangun tugu baru Sidobunder di dekat tugu lama. Prasasti yang tadinya berada di tugu lama kemudian dipindahkan ke tugu yang baru.
Salam Pancasila!
Oleh: Ananda. R
Sabtu Wage, 24 Mei 2013
Sumber:
– Gelegar di Bagelen
– Perang Kemerdekaan Kebumen Tahun 1942 – 1950; Depdikbud Dirjen kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta 1986
– Palagan Sidobunder; Istopo Sebul
– Wawancara saksi sejarah; Mei 2013
– Wawancara mantan Lurah Sidobunder; Mei 2013
Artikel ini sangat membantu saya dalam meneliti,, terimakasih banyak