Jalan menuju situs Ki Singapatra Kebumen
Jalan menuju situs Pamokshan Ki Singapatra Kebumen

Letak Geografis
Situs Pamokshan Ki Singapatra berada di Kelurahan Kebumen, Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Situs ini berada di kompleks pemakaman umum warga Kelurahan Kebumen, lebih – kurang 700 m dari Kantor Kecamatan Kebumen, Gedung/Sanggar Pramuka Kebumen, dan Klenteng Kebumen. Kompleks pemakaman ini sekaligus menjadi batas wilayah dengan Kelurahan Panjer.

 

Riwayat Ki Singapatra
Menurut riwayat, Ki Singapatra masih memiliki alur keturunan keluarga Majapahit. Ia melakukan perjalanan ke barat hingga di tepian sungai Luk Ula. Hal ini juga dilakukan oleh keturunan Majapahit lainnya yang tersebar di kabupaten Kebumen seperti: Gajah Mada di Punden Majapahit Sadang/Sadeng kemudian menuju ke selatan dan Moksha di Panjer, perjalanan Harya Baribin (salah satu putra Raja Majapahit) dari Majapahit – gunung Kumbang desa Suratrunan Alian – Kaleng – Pajajaran – kembali ke timur dan berakhir di Grenggeng, Perjalanan Harya Surengbala/Jaka Lancing dari Majapahit – Gesikan Panjer – Gunung Geong – berakhir di Mirit. Pertapaan Danang Sutawijaya di Kaligending, Pertabatan Sultan Agung Hanyakrakusuma, Sultan Amangkurat I, P. Mangkubumi dan Pangeran Dipanegara di Panjer, petilasan Untung Surapati di Karanggayam, makam Ki Ageng (Sunan) Geseng di Pedegolan – Kutowinangun dan lain – lain.

 

Ki Singapatra bertapa di tepi sungai Luk Ula hingga mendapat petunjuk/sasmita untuk membuka wilayah tersebut menjadi tempat tinggalnya (seperti juga yang dilakukan oleh Ki Malangyudha di hutan Jati Klirong yang kemudian menjadikannya sebagai sebuah desa yang dinamakan Alas Malang/Jatimalang). Dipekirakan kedatangan Ki Singapatra di daerah tersebut sekitar tahun 1500-an hingga Moksha sekitar tahun 1700. Beliau dianugerahi usia lanjut seperti juga Ki Ageng (Sunan) Geseng dan Sunan Kalijaga.

 

Setelah Ki Singapatra membuka wilayah tersebut, warga dari berbagai daerah lain berdatangan dan ikut bermukim. Wilayah Pemukiman itu berkembang ke arah timur dan utara kemudian dinamakan Desa Trukahan yang kini menjadi Desa Kebumen. Para pendatang yang semakin banyak pun kemudian mendirikan Dukuh (Padukuhan). Pada masa itu masuklah Ki Ageng (Sunan) Geseng ke wilayah Trukahan dan menjalin hubungan baik dengan Ki Singapatra. Mereka kemudian mendirikan sebuah padepokan ilmu kanuragan dan spiritual keagamaan yang hingga masa perang Dipanegara digunakan sebagai tempat penyusunan strategi pasukan Panjer dibawah pimpinan Senopati Jamenggala. Tempat tersebut kemudian digunakan total sebagai tempat ibadah yang direhab pada tahun 1841 (kini menjadi masjid Darussalam Kelurahan Kebumen). Artinya tempat ini telah ada jauh sebelum didirikannya Masjid Agung Kauman Kebumen yang dibangun oleh KH. Imanadi tahun 1834 (penghulu pertama kabupaten Kebumen). Masjid dan situs Ki Singapatra juga telah dipetakan Belanda dalam “Keboemen Hermeeten, 1900”.

Peta Keboemen hermeten in 1900 - KETERANGAN: (1)Kotak Kecil : Situs Singapatra, (2) Kotak Besar: Masjid, (3) Wilayah Dukuh/Padukuhan, (4) Kampung Pecinan sekarang Keposan.
Peta Keboemen hermeten in 1900, KETERANGAN: (1)Kotak Kecil : Situs Singapatra, (2) Kotak Besar: Masjid, (3) Wilayah Dukuh/Padukuhan, (4) Kampung Pecinan sekarang Keposan.

 

Peran Ki Singapatra dalam Perjuangan

Ki Singapatra ikut berjuang bersama Ki Badranala dan Ki Ageng (Sunan) Geseng. Dalam buku “Sejarah Dinasti KRAT Kolopaking” karya R. Tirto Wenang Kolopaking disebutkan bahwa:

 

“Pada tahun 1643 tentara Kompeni/VOC mencoba mendarat di pesisir Urut Sewu Petanahan dan berusaha menghacurkan lumbung – lumbung padi serta bahan pangan Panjer, tetapi dapat dipatahkan dan dihalau mundur oleh prajurit Panjer yang dipimpin langsung oleh Ki Bagus Badranala, Ki Ageng (Sunan) Geseng dan Ki Nayapatra(Singapatra/Patra Menggala). Ki Nayapatra adalah mertua dari Ki Bagus Badranala. Tentara Kompeni/VOC lari ketakutan kembali ke kapal meninggalkan pantai Petanahan. Atas jasanya, maka Ki Bagus Badanala diangkat menjadi Ki Gede Panjer Roma I oleh kerajaan Mataram”

 

Sejak pengangkatan Ki Bagus Badranala inilah wilayah Panjer terbagi menjadi Panjer Roma dan Panjer Gunung.

Pandjer, MAP OF JAVA ,1817
Pandjer, MAP OF JAVA ,1817
Alun-alun (Keboen Radja Pandjer) sebelum menjadi MAKODIM 0709/Kebumen, 1851-1900
Alun-alun (Keboen Radja Pandjer) sebelum menjadi MAKODIM 0709/Kebumen, 1851-1900

Beberapa Nama Singapatra

Singapatra adalah nama asli, sedangkan Nayapatra adalah gelar setelah ia memimpin wilayah Trukahan (Naya = pemimpin; Patra = Baik / Pantas). Adapun Patra Menggala adalah nama tua setelah mandita. Ditinjau dari kajian waktu, keberadaan Ki Singapatra di Kebumen jauh lebih awal dibandingkan dengan Ki Bagus Badranala. Ki Bagus Badranala berasal dari Karang Lo, Karanggayam yang setelah dewasa ia menuju ke Panjer dan mendirikan lumbung padi yang selanjutnya diserahkan untuk keperluan logistik Mataram. Di Panjer inilah Ki Bagus Badranala mempersunting salah satu anak Ki Singapatra yang bernama Endang Patrasari.

Ada dua versi pendapat mengenai tokoh Singapatra. Versi pertama adalah versi Babad Kolopaking menyebutkan bahwa Ki Singapatra adalah anak dari Ki Ageng (Sunan) Geseng. Versi ini sangat lemah jika ditinjau dari nama Singapatra yang kental dengan nama-nama tokoh dari daerah timur, terlihat pula dalam nama Endang Patrasari. Endang sendiri merupakan sebutan kehormatan bagi para keturunan atau keluarga Kerajaan. Selain itu dalam buku yang sama sang penulis terlihat kurang teliti dan memahami sehingga pada satu halaman menyebutkan bahwa Nayapatra adalah anak dari Ki Ageng (Sunan) Geseng sedangkan pada halaman lain menyebutkan bahwa Nayapatra adalah Ki Ageng (Sunan) Geseng. Adapun sejarah menyebutkan bahwa Ki Ageng (Sunan) Geseng adalah tokoh yang berasal dari Bagelen. Versi kedua adalah versi cerita turun – temurun trah Ki Singapatra yang menyebutkan bahwa Beliau berasal dari periode Majapahit, versi ini sepertinya lebih kuat. Terlebih penggunaan nama – nama binatang seperti Singa, Gajah, Lembu, Banyak, Kuda, Kebo dan lain- lain digunakan pada kurun Majapahit.

Keberadaan Lumbung padi Mataram yang pada awalnya didirikan oleh menantu Ki Singapatra ini juga dikuatkan dalam catatan perjalanan Gubernur Hindia Belanda yang bernama Rijckloff Van Goens (Ia mengunjungi Mataram lima kali pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma) yang menyebutkan bahwa:

“Mataram di bawah Sultan Agung bagaikan sebuah Imperium Jawa yang besar dengan rajanya yang berwibawa. Istana kerajaan yang besar dijaga prajurit yang kuat, kereta sudah ramai, rumah penduduk jumlahnya banyak dan teratur rapi, pasarnya hidup, penduduknya hidup makmur dan tenteram. Kraton juga punya penjara, tempat orang – orang jahat pelanggar hukum dan tawanan untuk orang Belanda yang kalah perang di Jepara. Pada masa Sultan Agung inilah dikenal secara resmi adanya sebuah daerah lumbung pangan (padi) di Panjer dengan bupatinya bernama Ki Suwarno.”

 

Ki Badranala yang mempunyai jiwa nasionalis tinggi, membantu Sultan Agung dengan menyediakan lokasi untuk lumbung dan persediaan pangan dengan cara membelinya dari rakyat desa Trukahan dan desa lain di Kadipaten Panjer (Kadipaten Panjer adalah metamorfosa dari Negara Panjer yang berakhir ketika munculnya kerajaan Demak). Pada tahun 1627 prajurit Mataram di bawah pimpinan Ki Suwarno mencari daerah lumbung padi untuk kepentingan logistik. Pasukan Mataram berdatangan ke lumbung padi milik Ki Badranala dan selanjutnya daerah tersebut secara resmi dijadikan Kabupaten Panjer di bawah kekuasaan Mataram. Sebagai Bupati Panjer, diangkatlah Ki Suwarno, dimana tugasnya mengurusi semua kepentingan logistik bagi prajurit Mataram (Kabupaten adalah wilayah resmi dari sebuah Kerajaan).

 

Hilangnya Ki Singapatra

Pasca periode Mataram Sultan Agung Hanyakrakusuma (wafat 1645), Ki Singapatra sempat menjadi pejabat setingkat gubernur di pesisir utara yang ditugaskan oleh Sultan Amangkurat I dengan gelar PATRA MENGGALA.  Dimasa itu beliau menikahi putri dari Yudanegara I (bupati Banyumas ke-5) sebagai istri terakhir yang kemudian dikenal dengan Nyi Patra Menggala.  Selanjutnya beliau menekuni ulah kapanditan. Hal ini dilakukan pula oleh Ki Bagus Badranala yang kemudian mundur dari jabatannya sebagai Ki Gedhe Panjer Roma (Bupati Panjer Roma I) dan menyingkir dari kota Raja Panjer menuju Gunung Geong/Karang Kembang hingga akhir hayatnya, dan Ki Ageng (Sunan) Geseng yang mandita sampai akhir hayatnya di Pedegolan – Kutowinangun. Berbeda dengan Ki Bagus Badranala dan Ki Ageng (Sunan) Geseng yang memilih seda, Ki Singapatra kembali melakukan tapa hingga murca atau moksha menjadi Rijalulghaib seperti yang dilakukan oleh Gajah Mada di Panjer, Ki Malangyuda/Malangtaruna di Desa Jatimalang Klirong dan Muh. Khahfi (Awal) di Lemahlanang.

Ki Singapatra memilih moksha di tempat awal kedatangannya. Secara tidak langsung, hal ini merupakan tuntunan bagi generasi selanjutnya bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah dan asal – usulnya.

 

Lokasi mokshanya kemudian menjadi tempat pemakaman umum warga desa Kebumen hingga saat ini (hal ini didapati juga di situs Kompleks Makam Kagungan dalem Kraton Yogyakarta di Mlangi. Dimana KGPH. Sandeyo/Kyai Nur Iman Mlangi pada awalnya bertapa hingga dapat petunjuk untuk membuka lahan pemukiman. Tempat pertapaannya pun kemudian menjadi tempat pemakamannya).

Seiring berjalannya waktu dan pergantian penguasa, riwayat Ki Singapatra makin terkubur dengan adanya babad baru seperti Babad Arungbinang misalnya. Babad ini menceritakan peran pentingnya Pangeran Bumidirjo/Ki Bumi sebagai pembuka wilayah di Kebumen, sedangkan Ki Singapatra sebagai sosok cikal bakal Trukahan Kabupaten Panjer Roma itu sendiri telah dikenal sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma, artinya jauh sebelum kedatangan Pangeran Bumidirjo ke Kebumen.

Keturunan Ki Singapatra

Hampir 90% warga di daerah Trukahan mempunyai alur dari Ki Singapatra. Keturunan terbagi dalam beberapa klan yakni keturunan yang masih mendiami Trukahan, keturunan Klan Badranala, dan keturunan klan Kolopaking. Keturunan yang lain tersebar pula di Suriname dan Belanda antara lain klan Maddamin.

Meskipun riwayat Ki Singapatra nyaris terkubur oleh babad – babad para tokoh pendatang, nama Ki Singapatra masih kuat melekat dihati para warga Trukahan Kebumen. Tidak kurang para peziarah dari luar Kebumen berziarah ke Makam Ki Singapatra termasuk para keturunannya yang berada di Belanda dan Suriname.

Keturunan Ki Singapatra / Patramenggala dari generasi ke generasi di Suriname dan Belanda

 

Liputan TVRI Jogja di situs Ki Singapatra / Patramenggala – 28 Mei 2014

 

Peletakan Batu Pertama Pembangunan situs Ki Singapatra / Patramenggala – 10 Juni 2014

no images were found

 

Peresmian pemugaran Situs Ki Singapatra / Patramenggala – Jumat Pahing, 26 Juni 2014

Oleh: Ananda. R
Kebumen, Rabu Pahing 01 Agustus 2012

https://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2012/08/jalan-menuju-makam-singapatra.jpghttps://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2012/08/jalan-menuju-makam-singapatra-140x140.jpgAnanda. RSejarahCatatan Sejarah Kebumen,Ki Singapatra Kebumen,Sisi Gelap Sejarah Kebumen,Situs Spiritual,Spiritual Jawa,Tempat-tempat Bersejarah di Kebumen,Trukahan KebumenLetak Geografis Situs Pamokshan Ki Singapatra berada di Kelurahan Kebumen, Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Situs ini berada di kompleks pemakaman umum warga Kelurahan Kebumen, lebih – kurang 700 m dari Kantor Kecamatan Kebumen, Gedung/Sanggar Pramuka Kebumen, dan Klenteng Kebumen. Kompleks pemakaman ini sekaligus menjadi batas wilayah dengan...Kembalinya jati diri Bangsa Indonesia yang berpancasila