Batas Status Quo lama di timur jembatan Kemit sebelum perundingan tanggal 24 Januari 1948; inilah batas barat wilayah RI
Batas Status Quo lama di timur jembatan Kemit sebelum perundingan tanggal 24 Januari 1948; inilah batas barat wilayah RI (gahetna)

Status Quo Kemit adalah kesepakatan mengenai garis batas wilayah antara pihak RI dan Belanda yang perundingannya diawasi oleh Komisi Tiga Negara (KTN) sebagai komisi perdamaian dunia yang dibentuk oleh PBB. Perundingan Status Quo diadakan pada tanggal 24 Januari 1948 di sebelah Barat jembatan Kemit, Karanganyar – Kebumen. Penyebab terjadinya Status Quo Kemit adalah pelanggaran Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 yang secara terang – terangan terhadap persetujuan Linggarjati dengan melancarkan ekspansinya hingga ke Gombong. TNI mengadakan perlawanan dengan tetap mematuhi perintah Gencatan Senjata. Pihak Belanda yang pada awalnya mengambil batas wilayah di timur Kali Kemit tanggal 30 Juli 1947 akhirnya bersedia memundurkan garis setelah diadakannya perundingan dengan Pihak RI yang di tengahi oleh KTN pada 24 Januari 1948. Diambillah kesepakatan bahwa Kali Kemit sebagai garis pertahanan dalam menghadapi Agresi Militer Belanda I.

 

Pada tanggal 27 Agustus 1947, Komisi Tiga Negara (KTN) dibentuk oleh PBB. Kemudian diadakan perundingan antara RI dengan Belanda di atas Kapal Renville yang menghasilkan Persetujuan Renville pada 17 Januari 1948. Sebagai tindak lanjut dari perjanjian tersebut maka Oleh KTN (Komisi Tiga Negara) setelah melakukan perundingan pada tanggal 24 januari 1948 tersebut yang dipimpin Panglima Divisi III Kolonel Bambang Soegeng dengan dihadiri antara lain: Letkol Koen Kamdani Komandan Resimen XX selaku Komandan COP PDKS Kebumen, Mayor Rahmat, Mayor Panoedjoe, Kapten Soebiyandono, Kapten H. Soegondo, Letnan Soeyono, Residen Banyumas, Bupati Banjarnegara, Bupati Kebumen, Kepala Polisi Gombong, dan Kepala Polisi Kebumen, Kali Kemit ditetapkan sebagai Garis Demarkasi/Garis Status Quo. Artinya, aliran Kali Kemit baik ke utara maupun selatan dijadikan batas terluar bagian barat dari Negara Indonesia. Pasukan-Pasukan TNI dan seluruh Pejabat Pemerintahan RI yang berada di kantong-kantong (dimaksud daerah yang diduduki Belanda) harus ditarik keluar. Dengan demikian Kemit merupakan pintu keluar bagi para pejabat dan pasukan TNI Siliwangi dari Jawa Barat yang akan hijrah ke Jawa Tengah. Pasukan Siliwangi dan para pejabat tersebut diangkut menggunakan kereta api oleh Belanda, lalu diturunkan di stasiun Gombong. Selanjutnya mereka berjalan kaki ke Karanganyar, dan diangkut menggunakan kereta api RI menuju Yogyakarta. Untuk memperlancar pelaksanan hijrah, Local Joint Commite (LJC) dibentuk dengan mendirikan pos di Panjatan (Karanganyar), dijabat oleh Kapten Musa yang ditugaskan MBT. Selain itu, dibukalah Jembatan Renville di desa Panjer, Kebumen oleh Zeni atas order COP Kebumen dan komunikasi telepon oleh satuan PHB pimpinan Kopral R. Soehadi. Di Pihak RI, Garis Demarkasi dijaga oleh tujuh anggota PK (Polisi Keamanan) yang berasal dari CPM yang menggunakan rumah Bapak Prawiro Soemarto sebagai Pos PK RI.

 

Agresi Militer Belanda II

Persetujuan Renville yang telah disepakati ternyata dilanggar pula oleh Belanda. Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00 wib Belanda telah memulai serangannya di atas ibukota Yogyakarta sembari menunggu bala tentara Belanda dan angkatan perangnya yang sedang dalam perjalanan dari Gombong menuju Yogyakarta. Sementara itu, pada hari Minggu pagi pukul 05.30 Wib tanggal 19 Desember 1948 Komandan Kompi III Batalyon III Brigade X (Batalyon Sroehardoyo) yang berkedudukan di Nampudadi dan Kepala Staf Kompi III Serma Koedoes mendengar ledakan Granat dari arah Kemit. Suara yang sama terdengar pula oleh Kapten Soemrahadi pimpinan sementara Kompi III karena Komandan Kompi III Kapten Radjiman sedang ke Purworejo untuk menengok keluarganya yang sakit. Ledakan granat itu tidak diragukan lagi setelah adanya laporan dari Kopral Soeroyo anggota regu Combat pimpinan Serma Soekidi yang bertugas di dalam kota Gombong, bahwa ledakan tersebut merupakan isyarat bahwa Belanda melaksanakan rencananya “door stoot naar Yogyakarta“ (menuju ke Yogyakarta). Hal itu menjadi lebih meyakinkan dengan adanya siaran RRI Yogyakarta secara berulang – ulang. Batalyon Sroehardoyo dan pasukan – pasukan lain yang bertugas di pos – pos pertahanan garis demarkasi Kemit segera melakukan pergeseran pasukan untuk menempati posnya yang baru yang telah ditentukan sebelumnya. Batalyon Mobil Soehardoyo mendapat tugas dan tanggung jawab pertahanan wilayah kabupaten Purworejo dan Batalyon Mobil Soedarmo di wilayah Kabupaten Kebumen. Batalyon Mobil II Mayor Soedarmo menempatkan Markas batalyon Kompi Markasnya (Rahwana) di Wadas Malang kecamatan Krakal, berikut dengan Kepala Staf Kapten Iskandar, Kompi I Werkudoro Kapten Soemantoro, Kompi I Gatotkoco Kapten Soegiono, Kompi III Antasena Letnan I Moeklis dan Kompi Bantuan Anoman Letnan I Tjiptono, pada dasarnya selalu berpindah – pindah. Namun sesekali secara bergantian pasukan beristirahat di rumah Glondong Rustam desa Karang Jambu, berdekatan dengan Komando Batalyon. Batalyon Teritorial Kedu IV Purworejo dan Batalyon Teritorial Kedu V Kebumen telah menyusun dan menempatkan kompinya, hingga dengan cepat sambil berjalan KODM – KODM dapat dibentuk di tiap kecamatan dengan personil yang ada pada kecamatan tersebut. Instansi pemerintahan sipil, dinas dan jawatan serta sekolah – sekolah, jauh sebelumnya telah mempersiapkan diri kemungkinan terjadinya Agresi II.

 

Gugurnya Tujuh Orang Polisi Keamanan (PK) anggota CPM RI

Ketujuh PK yang menjalankan tugas istimewa menjaga garis Demarkasi/Status Quo Kemit ini gugur pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 05.00 Wib saat Belanda memulai aksi militernya (Agresi Militer II) dengan terlebih dahulu menghabisi mereka yang pada saat itu menghuni rumah Bapak Prawiro Sumarto, timur pasar Kemit sebagai Pos PK pihak RI. Makam tujuh Pahlawan tersebut sebelumnya terletak di lokasi yang tidak layak (comberan), kemudian atas swadaya masyarakat Kemit, dipindahkan ke pemakaman yang layak di desa Grenggeng diprakarsai oleh Bp. Taufik dan Bp. Dwidjomartono. Selanjutnya ada dua versi mengenai keberadaan tujuh makam Pahlawan tersebut pasca renovasi yang kemudian dituliskan nama – namanya. Versi pertama menurut buku sejarah GELEGAR DI BAGELEN yang disusun oleh Ikatan Keluarga Resimen XX Kedu Selatan. Di dalam buku yang menggunakan sumber data berupa wawancara dengan beberapa narasumber pelaku sejarah antara lain; Kolonel (Purn.) H. Soedarsono Bismo/Komandan Kompi Irawan di Jakarta pada tanggal 8 Juni 1991, Letkol R. I Soehadi DKK di Gombong pada tanggal 23 Juli 1991, Moh. Tasdik dan Dwijomartono (Pejuang) di Kemit pada tanggal 1 Juli 1994 serta manuskrip Dinas Sejarah Militer dan Moh. Tasdik, ketujuh makam tersebut merupakan makam dari tujuh orang CPM penjaga garis demarkasi yang dihabisi Belanda pada aksi agresinya tanggal 19 Desember 1948. Versi kedua adalah menurut warga, yang meyakini bahwa ketujuh makam tersebut merupakan makam: 1. KH. Abumastur (Kyai Tratas 65 th), 2. Abdullah (40 th) dimana kedua pejuang tersebut juga disebutkan di dalam buku Gelegar Di Bagelen sebagai korban penyiksaan yang kemudian ditembak mati Belanda di Kemit, 3. Wahid bin Madngasah (23 th; tokoh ini tidak disebutkan baik dalam Gelegar di Bagelen maupun di dalam manuskrip Moh. Tasdik), 4. Pahlawan tak dikenal, 5. Pahlawan tak dikenal, 6. Pahlawan tak dikenal, 7. Pahlawan tak dikenal.

 

Satu hal yang sangat disayangkan adalah hilangnya sejarah mengenai ketujuh pahlawan penjaga garis tersebut. Ketujuh Pahlawan Penjaga garis Demarkasi pada masa Agresi Militer Belanda II ini sama sekali tidak mendapat perhatian dari pemerintah Kebumen, bahkan sepertinya tidak diketahui keberadaan dan sejarahnya oleh para abdi Negara (Sipil) di Kebumen baik secara umum maupun yang diberi kepercayaan mengurusi bidang kesejarahan. Hal ini tentunya sangat tragis dan memilukan apalagi ketika kita menyaksikan betapa penghargaan dan dukungan dari Pemkab Kebumen terhadap putra – putra daerah masa kini yang berprestasi di dunia hiburan nasional di elu – elukan, sementara ketujuh Pahlawan pemberani yang gugur sebagai korban kejahatan perang Belanda tersebut tidak dihargai dan tidak dikenali bahkan kini nyaris terhapus sejarahnya.


Teringat Soekarno sebagai Presiden RI pertama yang selalu berpesan “JASMERAH” Jangan sekali – sekali Melupakan Sejarah, kiranya memang sudah seharusnya karena dalam sejarah itulah tersimpan berjuta memori pahit – getir serta mahalnya harga sebuah Kemerdekaan. Dalam sejarah dan peninggalannya lah generasi penerus akan belajar tentang harga diri dan jati diri bangsa yang harus dijaga sampai titik darah penghabisan.

https://www.youtube.com/watch?v=NdyrMyIx-lg

*video ini dipersembahkan oleh ngapakbae.com bekerjasama dengan Yayasan Wahyu Pancasila bersama KAPANANE.

 

Tindak lanjut segera dari pihak – pihak terkait terhadap sejarah ketujuh pahlawan penjaga demarkasi Kemit tersebut sangat diperlukan. Sejarah akan indah jika bertumpu pada rel keobjektifan yang semestinya karena melupakan dan merusak sejarah serta segala peninggalan yang berkaitan dengannya sama halnya menodai sebuah kemerdekaan.

Salam Pancasila!

 

Oleh: Ananda. R
Sabtu Legi 4 Mei 2013

 
Sumber:
– Gelegar di Bagelen
– Perang Kemerdekaan Kebumen Tahun 1942 – 1950; Depdikbud Dirjen kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta 1986
– Manuskrip Tasdik tahun 1985
– Wawancara dengan nara sumber:
  1. Abdulhanan bin Kyai Afandi
  2. Ibu Khayunah, janda dan anak korban (suami dari basuki dan anak dari Dulhanan)
  3. Haji Musimin, grenggeng pelaku sejarah

foto koleksi pribadi dan gahetNA

https://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2013/05/garis-status-quo-memotong-jalan-kemit-1024x768.jpghttps://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2013/05/garis-status-quo-memotong-jalan-kemit-140x140.jpgAnanda. RSejarah7 Pahlawan Penjaga Demarkasi,Catatan Sejarah Kebumen,Pertempuran di Kebumen,Saksi Sejarah,Saksi Sejarah Kemerdekaan Indonesia,Status Quo KemitStatus Quo Kemit adalah kesepakatan mengenai garis batas wilayah antara pihak RI dan Belanda yang perundingannya diawasi oleh Komisi Tiga Negara (KTN) sebagai komisi perdamaian dunia yang dibentuk oleh PBB. Perundingan Status Quo diadakan pada tanggal 24 Januari 1948 di sebelah Barat jembatan Kemit, Karanganyar – Kebumen. Penyebab terjadinya...Kembalinya jati diri Bangsa Indonesia yang berpancasila