Candi Gua Gadog (Tempel Grot) – Kejawang, Sruweng – Kebumen
Satu lagi bukti peradaban masa lalu di Kebumen ditemukan di desa Kejawang – Sruweng berupa candi gua (Tempel Grot). Candi ini merupakan bangunan sederhana di dalam gua yang berfungsi sebagai tempat pemujaan di masa lalu. Terdiri dari lantai alam, altar mirip yoni (tanpa lubang ditengah), susunan batu bata berukuran besar berundak berupa tangga naik (berjumlah ganjil) menuju objek utama , arca Ganesha berbahan wadas kenteng dan hiasan berukir menyerupai gunungan wayang yang juga terbuat dari wadas kenteng. Candi Gadog terletak di sisi baratdaya di bawah pemakaman Rawa Menjangan di tepi sungai Kejawang.
Riwayat penemuan
Berawal dari rasa penasaran akan cerita turun – temurun sesepuh desa Kejawang bahwa di Rawa Menjangan dahulu ada sebuah lubang yang dimasuki 3 batang bambu masih belum sampai dasarnya, maka Tugino dan Sujono dengan penuh semangat mencari lokasi tersebut. Tak berhasil menemukan, mereka meneruskan kegiatan kerja bakti menggempur gundukan batu wadas/padas yang ada di sisi baratdaya makam untuk dimanfaatkan sebagai urug jalan.
Keanehan mulai mereka temukan, dimana dalam setiap ayunan dandang (alat pertukangan penghancur batu) pada gundukan wadas yang berada di utara pohon Gadog (mirip pohon kepuh) tua yang dikeramatkan warga menimbulkan bunyi “Dung – dung”. Tugino segera memeriksa sekitar gundukan dan menemukan cekungan mirip kolam tanpa air dibawah akar pohon besar. Cekungan tersebut beraroma wangi dimana sisi utaranya (tepat dibawah gundukan tersebut) terdapat lubang kecil yang saat itu telah yang tertutup tanah (ternyata sebagai mulut gua). Karena takut untuk membukanya, akhirnya mereka melanjutkan ndandang gundukan wadas dari atas hingga akhirnya diketahui bahwa di bawah gundukan tersebut terdapat sebuah ruangan berukuran sekitar 4×3 m.
Ketika ruangan semakin terbuka, Tugino pertama kali melihat adanya ukiran dari wadas kenteng menyerupai gunungan wayang. Ia kemudian melihat arca Ganesha dimana telinga kirinya grumpil terkena dandang. Arca Ganesha tersebut menghadap ke timur. Posisi ukiran menempel di dinding gua paling utara sedangkan arca Ganesha berada di sebelah selatannya. Tugino dan warga lain meneruskan pembukaan lubang tersebut dan melihat adanya batu bata tersusun berundak (3 tingkat) menyerupai tangga dimana di sebelah bawah terdapat altar (mirip yoni tanpa lubang di tengahnya). Altar yang juga menghadap ke timur tersebut terbuat dari wadas kenteng dan ditemukan dalam keadaan terbelah. Sebelah timur Altar berupa lantai wadas tanpa batu bata. Tugino kemudian mencabut arca Ganesha yang tertanam di bagian paling atas undakan dimana posisinya terkunci oleh lantai batu bata.
Selanjutnya ukiran di sebelah utara juga diangkat beserta beberapa batu bata yang menempel di lantai tangga paling atas sebagai tempat diletakkannya arca Ganesha dan ukiran tersebut. Adapun altar menyerupai yoni yang berukuran kurang lebih 100x60x20cm yang telah terbelah tersebut diangkat terakhir. Arca Ganesha diamankan di ruang pertemuan warga sedangkan lainnya ditaruh di tepi jalan hingga puluhan tahun berlalu kembali tertimbun tanah. bekas galian candi Gadog pun dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga.
Penelusuran kembali
Terkait jejak peradaban masa lalu di Kejawang sudah beberapa taun ditelusuri oleh Yayasan Wahyu Pancasila yang bersumber pada data purbakala kolonial berupa temuan arca Wisnu dengan 4 tangan di Kejawang pada 1872. Dari dasar itulah diyakini bahwa ada peradaban kuno di Kejawang.
Hingga akhirnya tim Wahyu Pancasila mendapatkan informasi dari Bambang Eko S pegawai di Dinas Pendidikan Kab. Kebumen yang tinggal di desa Karangsari, sekitar lokasi temuan terkait adanya arca Ganesha yang diamankan warga. Tim Wahyu Pancasila segera melaporkan temuan tersebut kepada Sofwan Noerwidi, salah satu peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta pada 7 Desember 2017. Dandim 0709/Kebumen Letkol Kav. Suep, S.IP merespon positif dan segera memerintahkan anggotanya untuk mengumpulkan informasi terkait temuan tersebut. Setelah berkoordinasi dengan pihak desa, penelusuran sisa – sisa situs candi Gadog dimulai.
Penelusuran dilakukan bersama dengan pihak desa, Supono (Wadanramil Sruweng) dan penemu situs candi Gadog (Tugino dan Sujono). Pembersihan lokasi dari timbunan sampah yang telah bertahun – tahun tidak membuahkan hasil. Hanya ditemukan serpihan – serpihan batu bata. Akhirnya tim menelusuri lokasi sekitar situs dan menemukan tumpukan batu bata kuno yang telah dijadikan tanggul setapak pekarangan. Informasi selanjutnya didapati bahwa sempat dilakukan penggalian beberapa tahun yang lalu dimana batu bata kuno yang merupakan bagian undak-undakan diangkat dan dijadikan tanggul setapak pekarangan. Batu – bata tersebut selanjutnya dikumpulkan dan disimpan bersama arca Ganesha sebagai rintisan museum desa. Penelusuran diteruskan di lokasi altar dan batu bata serta ukiran batu yang kembali tertimbun namun belum membuahkan hasil.
Candi Goa Menurut Catatan Arkeologi Kolonial
Candi Goa/Temple Grot merupakan salah satu dari beberapa objek temuan dan penelitian arkeologi di masa Kolonial. Dalam Bataviaasch Genotschap Van Kunsten En Wetenschappen (1855) disebutkan adanya beberapa candi gua di karesidenan Bagelen yakni di Kutoarjo dan Kebumen. Candi gua tersebut antara lain di Gunung Lanang (Kebumen), Merden (Kebumen), Gunung Lawang (Kutoarjo) dan Tebasan (Kutoarjo).
Kesimpulan sementara terkait penelitian terhadap candi – candi gua tersebut antara lain bahwa candi gua merupakan tipe candi yang sangat jarang dijumpai dan hanya ada beberapa di pulau Jawa. Candi tersebut berfungsi sebagai tempat menyepi, bertapa dan pemujaan yang merupakan aktifitas ritual spiritual asli Jawa dimana keberadaannya diperkirakan semasa dengan Borobudur dan Sukuh.
Oleh Ravie Ananda
Senin kliwon, 10 Desember 2017