Doorstoot naar Djokja atau Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 masih teringat jelas dalam ingatan Sulimah. Ia menceritakan bahwa hari itu Minggu pagi. Sulimah dan beberapa temannya sedang bermain ”Bekel/gatheng dan Dakon” di Balai Desa Kebumen. Tiba – tiba mereka dikejutkan dengan adanya warga yang berbondong-bondong mengungsi sambil berteriak-teriak memberi tahu “Ana Gegeran”. Sulimah kecil pun bergegas meninggalkan balai desa sambil menggendong Ngadimin (lahir tahun 1945), tetangganya yang masih balita dan mengantarkan ke rumahnya yang tidak jauh dari balai desa. Ngadimin dititipkan pada orang yang sedang berada di rumahnya karena saat itu orangtuanya sedang tidak berada di rumah. Pada hari itu ternyata kakeknya Ngadimin yang juga ikut mengungsi tewas tertembak Belanda. Menurut cerita Siti Maryam tetangganya, kakeknya Ngadimin saat itu mengenakan pakaian warna hijau dan bercaping berlari mengungsi ke sawah. Ia  kemungkinan ditembak sebab disangka tentara.

Sulimah tidak pulang ke rumah tetapi menuju tempat Nini Suwuh (adik dari Nenek Sulimah). Nini Suwuh adalah pedagang makanan dan pada hari itu di rumahnya banyak sekali makanan yang sedianya akan dijual di pasar Kebumen. Akibat ada gegeran, maka ia menyuruh Sulimah membawa pulang makanan yang tidak jadi dijual tersebut ke rumah. Setibanya di rumah ternyata ia tidak mendapati kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Mereka telah mengungsi. Akhirnya Sulimah kembali ke rumah Nini Suwuh yang ternyata ia pun mendapati rumah tersebut telah kosong. Semua telah mengungsi. Sulimah kebingungan dan menangis. Ia berlari menuju sawah di sebelah timur kampungnya untuk bersembunyi. Tidak lama kemudian ada suara dentuman di dekat sawah tempatnya berlindung. Sulimah berlari ke utara hingga daerah Ampel. Di sana Bibi Talbiah (adik dari ayahnya) melihat Sulimah yang tengah menangis kebingungan. Talbiah yang ternyata telah mengungsi terlebih dahulu pun mendekati dan memeluknya. Sulimah menceritakan bahwa ia tidak tahu di mana kedua orang tua dan saudara – saudaranya mengungsi. Akhirnya Sulimah ikut bersama Talbiah beberapa bulan lamanya dan membantunya berjualan makanan di pengungsian. Sulimah sempat menderita sakit malaria hingga rambutnya rontok.

Beberapa bulan dalam pengungsian, pada suatu hari Sulimah diajak pergi ke pasar Kubang (sebuah pasar kecil di desa dekat pengungsiannya). Ia melihat seorang laki-laki memikul dagangan. Sulimah memberitahu Talbiah bahwa laki-laki itu mirip ayahnya. Talbiah bergegas menghampiri laki-laki yang ternyata berjualan jengkol tersebut. Benar dugaan Sulimah, laki-laki itu adalah ayahnya yang bernama Pandi (Soepandi). Ia kemudian memeluk Sulimah dan mengajaknya ke pengungsiannya di Peniron dengan berjalan kaki menyeberangi sungai Lukula. Bersama kedua orang tua dan saudara-saudaranya, Sulimah disuguhi makan nasi jagung dan rebusan daun (kluban/urap tanpa ampas). Ia yang selama ikut Nini Suwuh berdagang makanan dan di pengungsian awalnya membantu Bibi Talbiah berjualan makanan tidak doyan makanan dari ayahnya itu. Akhirnya Pandi mencari nasi dan lauk untuk makan Sulimah.

Tidak lama di Peniron, Pandi dan keluarganya pindah ke utara di desa Binangun. Dalam ingatan Sulimah, selama di Peniron sering terlihat pesawat Belanda berputar-putar di atas desa dan beberapa kali menjatuhkan bom. Begitu pula ketika ia di Binangun. Sulimah, saudara-saudaranya dan kedua orang tuanya serta banyak warga Binangun sering bersembunyi di gua buatan yang sengaja di buat di tepi sungai untuk berlindung ketika pesawat melintas di atas desa mereka dan menjatuhkan bom. Sulimah tinggal di pengungsian bersama orangtua dan saudara-saudaranya beberapa tahun lamanya ditempat Bu Yapi. Hingga akhirnya pada tahun 1950 lahirlah adik Sulimah saat ayahnya tengah berdagang tembakau dan klembak menyan di pasar Somawangsa Karanggayam. Adiknya pun diberi nama Somadi karena lahir saat hari Pasaran pasar Soma. Setelah keadaan aman, sekitar tahun 1951 kedua orang tua Sulimah dan seluruh keluarganya kembali ke Kebumen.

Saya memanggil Sulimah dengan sebutan Bu Dhe sedangkan Somadi, adiknya yang lahir di pengungsian itu saya panggil Ayah. Ayah saya adalah anak terakhir dari Pandi, laki-laki yang saya panggil kakek. Pandi sebelum Agresi Militer Belanda II adalah seorang penatu. Ia berjualan jengkol serta tembakau dan klembak menyan di pengungsian dan berteman baik dengan penjual hewan ternak dari Kalibening yang bernama Meri (nantinya dikenal manten lurah). Pandi kembali menjadi seorang penatu serta menjadi kusir dokar setelah kembali dari pengungsian. Adapun Siti Maryam adalah istri Pandi. Saya memanggilnya Nenek. Banyak cerita yang saya dapat darinya. Ia yang tidak pernah tahu ibunya karena saat baru berusia beberapa bulan ibunya dibawa Belanda ke Suriname. Nenek sering mengulang cerita betapa sedihnya setiap ia menanyakan kepada kerabatnya “Dimanakah ibunya?” selalu dijawab “Ibumu wis mati dipangan ula (ibumu telah mati dimakan ular)”.  Nenek meninggal pada usia 90 tahun di kamar saya tanpa pernah bertemu ibunya. saya memangkunya hingga hembusan nafas terakhir.

Catatan keberangkatan Samilah ibu dari Siti Mariyam ke Suriname
Catatan keberangkatan Samilah ibu dari Siti Mariyam ke Suriname

Kini saya tinggal di rumah yang dulu menjadi tempat tinggal Pandi dan keluarganya bersebelahan dengan Pak Ngadimin yang pada masa Agresi Militer Belanda II digendong Sulimah.

Deskripsi perjalanan Sulimah dan keluarganya dalam mengungsi
Deskripsi perjalanan Sulimah dan keluarganya dalam mengungsi (peta hermeten – kitlv)

Satu hal yang jelas dari kisah ini bahwa kemerdekaan itu sangat mahal harganya dan peperangan itu sangat tidak menyenangkan. NKRI harga mati adalah harga diri dan kehormatan tertinggi kita sebagai manusia yang terlahir dan hidup sebagai bangsa di negeri ini.

Rahayu

Oleh Ravie Ananda
Kebumen malem Rebo Kliwon, 3 Juli 2018

*last edited: 11:50 WIB , 20 July 2018

https://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2018/07/pandi-siti-mariyam-sulimah-dan-anak-anak-sulimah-didpn-rumah-pandi-1024x679.jpeghttps://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2018/07/pandi-siti-mariyam-sulimah-dan-anak-anak-sulimah-didpn-rumah-pandi-140x140.jpegAnanda. RSejarahAgresi Militer Belanda di Kebumen,Sisi Gelap Sejarah KebumenDoorstoot naar Djokja atau Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 masih teringat jelas dalam ingatan Sulimah. Ia menceritakan bahwa hari itu Minggu pagi. Sulimah dan beberapa temannya sedang bermain ”Bekel/gatheng dan Dakon” di Balai Desa Kebumen. Tiba – tiba mereka dikejutkan dengan adanya warga yang berbondong-bondong...Kembalinya jati diri Bangsa Indonesia yang berpancasila