Tanggapan atas Artikel tentang Pamoksan Gajahmada
Pernyataan saya sesuai dengan kajian yang saya lakukan baik secara genetik historis maupun data data dan beberapa mitos masyarakat kebumen dibeberapa tempat situs lokal yang kemudian saya kaitkan dengan pemikiran pemahaman kritis tentang pamoksan Gajahmada di Panjer Kebumen, dikonfrontir dengan tegas alasannya, adalah tidak adanya bukti arkeologis, dan validitas data.
Hal ini tentunya sangat menggelikan karena ternyata setelah kita cermati dalam artikel ini, pengkonfrontir ternyata berusaha mematahkan juga dengan legenda atau mitos Gajahmada moksa di daerah lain (dengan memegang cakra di dalam gua).
Awalnya saya sempat kagum karena pengkonfrontir mengkaji dari sisi akademis berupa ranah arkeolog dan validitas data, tetapi kemudian saya malah menjadi bingung karena sampai saat ini dimanapun namanya moksa tidak akan ada data arkeologisnya, begitu juga dengan data Gajahmada yang hingga kini masih sangat minim dan sangat abu abu, bahkan hingga melahirkan sebuah buku tentang GAGALNYA HISTOGRAFI INDONESIA.
Berbeda dengan situs kerajaan dan sebagainya yang bisa ditemukan dan dianalisis secara arkeologi, moksa sendiri adalah proses Hambadan Cahya /Ngrijalulgaib /Demateriallisasi yang cenderung masuk ke ranah spiritual. Maka ketika pengkonfrontir kemudian mengkaitkan moksa dengan bukti arkeologi, segera saya tersadar bahwa ini semata hanyalah gerakan pematahan temuan metafisi/spiritual dikarenakan adanya kepentingan sepihak/kelompok akan suatu tempat atau lokasi. Apapun akan dilakukan demi tercapainya tujuan, terlebih ketika kemudian pengkonfrontir mengeluarkan statmen bahwa pamoksan Gajahmada ada di daerah lain, hal ini juga bukan berdasar pada validitas data dan arkeolog, tapi berdasar penuturan yang kemudian ditulis oleh suatu masyarakat. Semakin tampak bahwa PENGKONFRONTIR TELAH MENGKONFRONTIR DIRINYA SENDIRI TANPA SADAR.
Selain pamoksan Gajahmada juga disebutkan tentang penyebutan pendapat asal asalan saya tentang Amangkurat I yang singgah di panjer, hal yang sangat lucu adalah karena data – data berupa babad lokal, dan beberapa babad lain yang telah jadi acuan penulisan buku sejarah Kebumen pada era Bupati Rustriningsih yang telah terbit resmi dengan judul SEJARAH DAN BUDAYA KEBUMEN yang penelitiannya diketuai oleh Drs Sugeng priyadi M.Hum, doktor sejarah yang kini telah menjadi Profesor sejarah tidak tersentuh sama sekali. Padahal sang Profesor juga menggunakan berbagai acuan data sejarah yang ternyata menyebutkan adanya perjalanan Amangkurat I di Panjer Kebumen dan perbandingan tanggal kronologi perjalanan Amangkurat I antara babad dan catatan Belanda. Pernyataan pengkonfrontir yang menyebutkan bahwa Yoni Lingga di Sumberadi baru ditemukan, tentunya sangat janggal karena benda purbakala tersebut telah ada sejak lama dan diketahui keberadaannya bahkan sudah dipasang tanda bangunan cagar budaya oleh pihak kabupaten dan telah bertahun – tahun yang lalu.
Hal ini membuktikan bahwa pengkonfrontir kurang memahami sejarah. Maka selanjutnya saya ingat akan penemuan pamoksan JAYABAYA yang dahulu awalnya juga hanya secara metafisik yang kemudian diyakini warga, serta adanya kirab budaya yang mirip dengan di Panjer Kebumen, dimana pamoksan JAYABAYA berada di dalam lokasi pabrik NV. Oliefabrieken Insulinde Kediri. Di dalam pabrik NV. Oliefabrieken Insulinde Kediri ini juga terdapat sendang yaitu sendang Tirta Kamandanu.
Kiranya benar kata para pendahulu TIMBULING TUNJUNG BANG TERATE, KUMAMBANGING WATU IRENG, KEREMING PERAHU GABUS, ketika kesejatian telah waktunya muncul, seberat apapun pasti akan mengapung, dan sebesar apapun kapal jika itu ringan,pasti akan tenggelam, disitulah kemudian akan muncul bunga teratai yang kemudian mekar dan harum. “Tunggak jati mati, tunggak jarak mratak”.
Salam Pancasila!
Oleh: Ananda. R
Sedulur…,
Emas akan tetap mulia… tidak perlu argumen atau memperdebatkan kemuliaan emas walaupun ditempatkan didalam lumpur.
Urgensinya bukan dimana Patih Gajah Mada moksa.. tapi semangat perjuangan dan pengabdian sejati beliau yang harus kita warisi sebagai generasi penerus negeri ini.
Semegah apapun bangunan itu “dia” rela tidak mendapat pengakuan walaupun semua hati akan mengakui bahwa “dia” adalah komponen sangat penting atas berdirinya sebuah bangunan itu. “Dia” adalah “air”.
Tidak pernah bisa dinafikan, sejarah perjalanan berdirinya bangsa besar ini adalah dari timbunan nyawa, jiwa, raga dan darah para pejuang Allah dibumi Panjer, Kedu dan sekitarnya.
Walau tanpa “Mahkota Dunia” semua mata dunia dan sejarah mengakui bahwa ribuan bahkan jutaan nyawa dan raga “pahlawan dan mujahid sejati” dari Panjer adalah tulang punggung besar dalam perang suci dari masa ke masa dalam sejarah nusantara dan sejarah negeri ini.
Masa Perang Sultan Agung…, masa Perang Pangeran Diponegoro…, dan saat Ibukota Republik tercinta ini sudah dicaplok NICA dan BELANDA, saat Bung Sukarno dan Bung Hatta ditangkap dan dibuang ke peng-ASING-an…, Saat itu…! Dunia masih mau mengakui Republik ini karena “Perang Gerilya” para MUJAHID ALLAH yang dipimpin Kyai Mas.
Sejarah mencatat dan mengakui jutaan nyawa dan raga MUJAHID ALLAH dari Panjer, Kedu dan sekitarnya yang dipimpin Kyai Mas (Jenderal Agung Sudirman) rela dan ikhlas dipersembahkan demi berdirinya bangunan rumah besar yang kita cintai “Republik Indonesia”.
Sejarah zaman telah mencatat hanya jiwa-jiwa ikhlas yang akan mewarisa semangat para BANGSAWAN ALLAH… karena dia manggunakan ilmu “air”. Wallahualam.
Salam dan Sholawat kita haturkan kpd Nabi Muhammad SAW dan limpahan Rahmat kpd Nabi Khidir AS.
Kesajatian timbul dari keaadaran tingkat tinggi