Selain batas garis demarkasi, sebagai konsekuensi terhadap penandatanganan persetujuan Renville, maka RI harus melaksanakan pemindahan pasukan TNI dari daerah kantong gerilyanya di Jawa Barat. Setelah terbentuknya “Panitia Hijrah”, berdasarkan Penetapan Presiden tahun 1948 No. 4, maka mulailah TNI hijrah. Sebagian Tentara Hijrah terdiri dari kesatuan-kesatuan Divisi I/Siliwangi dengan panglimanya Mayor Jendral A.H. Nasution di samping kekuatan-kekuatan bersenjata lainnya yang berjumlah 35.000 anggota. Pos-pos pertama untuk tentara hijrah ditetapkan di Rembang melalui laut dari pelabuhan Cirebon, dan darat dari Cirebon ke Banjarnegara, Turen dan Kebumen selanjutnya ke kota Yogyakarta. Sebenarnya di kalangan prajurit TNI telah timbul rasa kecewa terhadap perintah hijrah tersebut dan banyak yang melakukan protes, akan tetapi semua segera dilaksanakan untuk menepati isi perjanjian Renville.

Pasukan-pasukan TNI dan seluruh pejabat pemerintahan RI yang berada di wilayah Belanda harus ditarik keluar. Dengan demikian Kemit merupakan pintu keluar bagi para pejabat dan pasukan TNI Siliwangi dari Jawa Barat yang akan hijrah ke Jawa Tengah. Pasukan Siliwangi dan para pejabat tersebut diangkut menggunakan kereta api oleh Belanda, lalu diturunkan di stasiun Gombong. Selanjutnya mereka berjalan kaki ke Karanganyar dan diangkut menggunakan kereta api RI menuju kota Kebumen sebagai tempat hijrah pertama.

Gelombang pertama diawali oleh Pasukan Siliwangi prajurit Yon-32/Garuda Hitam yang dipimpin oleh Kapten Rivai. Setelah menerima Surat Perintah Hijrah, mereka segera berkumpul di desa Waas. Pada tanggal 4 Februari 1948 tengah malam, sesuai dengan instruksi Dan Yon-32/Garuda Hitam Kapten Rivai, semua pasukan yang berada di Cihanjawar, Ciseda dan Pasirkihiang, termasuk staf batalion yang ada di Sadang Wanaraja pimpinan Letnan Dua Momo Somamiharja tiba di Waas, sebagai desa tempat Komandan Batalion. Namun, pemberangkatan hijrah baru dilakukan tanggal 6 Februari 1948 karena pemerintahan sipil dan rakyat mengadakan acara dan upacara pelepasan dan pemberangkatan. Dengan ditandai suara adzan dan pekikan “MERDEKA” berpuluh-puluh kali, rombongan hijrah bergerak berjalan kaki. Jalan yang ditempuh bukan jalan raya melainkan setapak pada lereng-lereng pegunungan, menyebrangi sungai-sungai bebatuan dengan arus deras. Perjalanan yang cepat menjadi lambat setelah melalui pendakian-pendakian yang tinggi dan lembah curam. Tidak semua prajurit memakai sepatu, ada yang mengenakan sandal, bahkan banyak yang tanpa alas kaki. Agar tetap semangat dan menghilangkan lelah, masing-masing Komandan Regu bersama anak buahnya menyanyikan lagu perjuangan.

Hijrah diawali dari desa Waas menuju Cihanjawar – Mangunreja – Cibeureum. Dari Cibeureum, pasukan Hijrah diangkut dengan truk-truk yang disiapkan oleh KTN menuju Malewung distrik Sidareja Kab. Cilacap. Sesampainya di stasiun Malewung, Pasukan Hijarah Garuda Hitam dipimpin Kolonel Hidayat dan Mayor Akil turun dari truk masing-masing. Perjalanan menuju Gombong diteruskan dengan kereta api, sedangkan semua senjata kesatuan harus diserahkan.

Setibanya di Gombong yang merupakan pos terdepan Belanda, semua “Maung Siliwangi” harus turun dari kereta api dan melanjutkan perjalanan menggunakan truk-truk melalui daerah perbatasan (demarkasi) menuju Kemit – Karanganyar sebagai wilayah terluar dari Republik Indonesia. Melintasi garis demarkasi antara Indonesia dan Belanda barulah terasa betapa berat berpisah dengan kampung halaman dan orang-orang yang dicintai. Timbul pertanyaan, “Baik-baikkah hati orang Jawa Tengah itu?”. Banyak Maung Siliwangi yang berwajah sendu dan meneteskan air mata.

Pasukan Hijrah menuju Garis Demarkasi, sumber: Nationaal Archief, CC0.

Sesampainya di Kemit – Karanganyar para “Tentara Hijrah”turun dari truk dan pindah ke kereta api Republik yang sudah yang sudah menunggu ½ KM dari jalan raya. Mereka berjalan kaki menuju kereta api sambil membawa perlengkapan masing-masing termasuk senjata dan peluru. Desa yang dilintasi menuju tempat pemberhentian kereta api mereka namakan Desa Revolusi. Dengan kereta api tersebut, mereka dibawa menuju kota Kebumen.

Di Stasiun Kebumen, Panitia Hijrah bersama rakyat Kebumen menyambut “Tentara Hijrah” dengan rasa kasih sayang dan penuh kegembiraan. Mereka diterima bukan sebagai “orang tergusur” dari Jawa Barat, tetapi sebagai pahlawan-pahlawan yang gagah berani. Tentara Hijrah ditempatkan di rumah-rumah rakyat, karena tidak adanya tempat penampungan khusus. Rasa persaudaraan, sehidup semati demi kemerdekaan semakin tambah mendalam.

Untuk memperlancar pelaksanan hijrah, dibentuklah Local Joint Commite (LJC) dengan mendirikan pos di Panjatan Karanganyar, dijabat oleh Kapten Musa yang ditugaskan MBT. Selain itu, dibukalah jembatan kereta api Renville di desa Panjer, Kebumen oleh Zeni atas order COP Kebumen dan komunikasi telepon oleh satuan PHB pimpinan Kopral R. Soehadi.

Kota Kebumen menjadi kota yang padat karena dipenuhi oleh tentara yang hijrah bersama keluarga mereka. Salah satu akibat yang terasa adalah kesulitan dalam ekonomi karena adanya blokade ekonomi Belanda. Blokade ekonomi tersebut mengakibatkan sulitnya memperoleh barang-barang kebutuhan sehari-hari, sehingga harga membumbung tinggi dan nilai uang ORI (Oeang Republik Indonesia) terus merosot. Barang-barang tersebut banyak yang tersedot ke daerah yang diduduki Belanda. Perdagangan uang logam secara gelap semakin marak.

Ada sebuah peristiwa baku hantam Pasukan Siliwangi dengan rakyat Kebumen yang terjadi karena kesalahpahaman. Setelah ditempatkan di rumah-rumah penduduk, maka semua prajurit Yon – Rivai mendapatkan uang saku sebesar Rp. 100,- (seratus rupiah). Para prajurit pun berbelanja di warung-warung atau toko dan menanyakan harga barang yang akan dibelinya. Mendapat jawaban bahwa harganya segelo(bagi rakyat Kebumen segelo sama artinya Rp. 1,-/satu rupiah) maka penjual pun ditampar oleh Prajurit Siliwangi karena bagi orang Jawa Barat segelo berarti gila. Baku Hantam pun terjadi di mana-mana. Pemerintah Daerah Kebumen dan Pimpinan Siliwangi segera turun tangan dan memberikan penjelasan serta pengertian agar tidak menggunakan bahasa daerah. Anjuran menggunakan bahasa persatuan, Bahasa Indonesia segera diterapkan. Rakyat Kebumen dan Pasukan Siliwangi yang terlibat dalam “peristiwa bahasa” itu pun saling memaafkan dan semua tertawa geli.

Rombongan Tentara Hijrah yang kedua dipimpin Letkol A.E. Kawilarang dengan Kepala Stafnya, Mayor Kusno Utomo (Letjen. Purn). Titik pemberangkatan dari stasiun Parajukan – Cirebon ke Gombong menggunakan kereta api. Selama dalam perjalanan, TNI di pisahkan dengan senjatanya. Sesungguhnya ini merupakan suatu penghinaan yang sangat besar, tapi karena patuh pada pemerintah Republik Indonesia, mereka pun menerima. Selama dalam perjalanan, rombongan Tentara Hijrah dikawal tentara KNIL dengan ketat. Seringkali mereka mendapat perlakuan berupa kata-kata yang menghina atau memancing-mancing kerusuhan. Senjata-senjata mereka dibawa dalam gerbong lain, dan baru diserahkan sesudah tiba di Gombong. Dari stasiun Gombong, Tentara Hijrah berjalan kaki menuju demarkasi Kemit. Banyak senjata yang rusak, karena memang sengaja dirusak Belanda. Beberapa pucuk dari senapan mesin hilang loopnya. Bahkan zukikanju juga rusak karena loopnya dicopoti.

Ilustrasi Senjata dari “Pasukan Hijrah”, sumber: Nationaal Archief, CC0.

Berbeda dengan Tentara Hijrah gelombang pertama yang disambut meriah oleh rakyat Kebumen, setibanya di garis demarkasi Kemit, gelombang kedua pimpinan Letkol A.E. Kawilarang tidak mendapat sambutan oleh rakyat apalagi dielu-elukan. Bahkan tak satu pun anggota Panitia Hijrah yang tampak. Perjalanan menuju kota Kebumen terpaksa dilanjutkan dengan berjalan kaki, menyusuri jalan kereta api karena tidak mengetahui ke mana arah jalan raya yang menuju Kebumen. Pada saat itu hujan turun sangat lebat sehingga semua prajurit basah kuyup bahkan ada yang menggeletuk kedinginan.

Sesampainya di stasiun Kebumen, hal yang menjengkelkan kembali terjadi. Tak seorang pun dari Panitia Hijrah yang datang menyambut. Akhirnya karena hari semakin malam, terpaksa para prajurit mengambil inisiatif sendiri-sendiri. Ada yang tidur di peron stasiun, ada yang menggeletak di gerbong-gerbong kereta api. Tapi banyak juga yang menginap di rumah rakyat Panjer di sekitar stasiun sekedar untuk menanti pagi. Beruntung, malam hari itu juga rakyat memberikan makanan kepada para Tentara Hijrah. Mereka juga meminta agar semua prajurit jangan tidur di gerbong-gerbong kereta api dan di peron stasiun. Tentara Hijrah diajak tidur bersama-sama dengan rakyat. Keramah-tamahan rakyat Panjer – Kebumen itu merupakan obat yang mujarab untuk hati “Maung Siliwangi” yang sudah terluka. Perasaan sentimen yang sudah mulai ada sejak di demarkasi Kemit sirna akibat budi baik rakyat setempat. Keesokan harinya baru diketahui, bahwa tidak hadirnya Panitia Hijrah di demarkasi Kemit dan di stasiun Kebumen, karena pihak Belanda dengan sengaja tidak memberitahukan kepada Republik. Sebaliknya, itu adalah bukti kekurangsiapan Panitia Hijrah dari pihak Republik karena tidak mau mengambil inisiatif untuk mengetahui kapan Tentara Hijrah datang. Belanda sengaja berbuat demikian karena mempunyai maksud terselubung untuk menciptakan rasa ketidakpuasan Pasukan Siliwangi sehingga diharapkan mereka akan menyerang balik Pemerintah Pusat.

 

Oleh Ravie Ananda
Selasa Pon, 20 Juli 2020

https://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2020/07/ljc-1024x675.jpghttps://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2020/07/ljc-140x140.jpgAnanda. RSejarahCatatan Sejarah Kebumen,Saksi Sejarah Kemerdekaan Indonesia,Sisi Gelap Sejarah KebumenSelain batas garis demarkasi, sebagai konsekuensi terhadap penandatanganan persetujuan Renville, maka RI harus melaksanakan pemindahan pasukan TNI dari daerah kantong gerilyanya di Jawa Barat. Setelah terbentuknya 'Panitia Hijrah', berdasarkan Penetapan Presiden tahun 1948 No. 4, maka mulailah TNI hijrah. Sebagian Tentara Hijrah terdiri dari kesatuan-kesatuan Divisi I/Siliwangi dengan panglimanya...Kembalinya jati diri Bangsa Indonesia yang berpancasila