JAUH sebelum kesenian kuda lumping ada, nenek moyang kita sudah mengenal ebleg. Kesenian tradisional asli Panjer (nama Kabupaten Kebumen masa lampau) itu, sebagai cikal bakal tumbuhnya kesenian kuda lumping (jaran kepang) di berbagai daerah, termasuk Kebumen. Bahkan di Negara Suriname.
Panjer, yang kini dijadikan nama sebuah kelurahan di kabupaten berslogan “Beriman” itu pernah menjadi basis kekuatan militer dan lumbung pangan Kerajaan Mataram. Lokasinya berada di gedung eks Pabrik Sarinabati. Dan, saat Sultan Agung Hanyakrakusuma memimpin perang melawan Belanda pada 1600, ebleg muncul di daerah tersebut. Karena itu, ebleg juga dikenal dengan nama Sendratari Perang Yudha Cakrakusuma.

Menurut Pembina Grup Ebleg Singa Mataram Panjer, R Ravie Ananda, ebleg mempunyai gerakan pakem khusus. Singa Mataram, lanjutnya, satu-satunya grup kesenian yang masih konsisten menjaga pakem ebleg. Setiap Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon, kesenian tersebut ditampilkan.

“Adapun kuda lumping merupakan hasil pengembangan dari kesenian ebleg. Jadi, gerakan kesenian kuda lumping tidak harus sesuai dengan pakem,” jelasnya.

Instrumen yang wajib ada dan menjadi ciri khas ebleg yakni barongan, sebagai simbol sosok Sultan Agung yang terkenal dengan julukan Singa Jawa (Singa Mataram). Selain itu jaran kepang dengan warna hitam dan putih, sebagai simbol pasukan berkuda Mataram yang gagah berani. Warna putih melambangkan Turangga Seta (kuda putih), sedangkan warna hitam melambangkan Turangga Sembrani (kuda hitam).

Keduanya merupakan mitologi kuno masyarakat Jawa yang menjadi simbol daya kekuatan nonmateri yang tangguh, menyatu, berpadu serta seimbang. Turangga seta juga simbol kekuatan ketuhanan murni (bersifat rohani), sedangkan turangga sembrani simbol kekuatan raga dan alam.
Ciri khas lainnya yakni gending, sebagai simbol dari Kitab Sastra Gendhing karya Sultan Agung. Kitab tersebut berisi ilmu politik / pemerintahan dan strategi perang. Sekaligus sebagai aturan dan dijadikan pedoman militer seta pemerintahan di masa Sultan Agung.

Gending yang wajib digunakan dalam ebleg yakni Eling – Eling dan Riti – Rito, sebagai simbol nasihat agar generasi penerus selalu mengingat jasa para leluhur pendahulu bangsa serta tidak berfoya – foya. Selain itu ada penthul sebagai simbol penasihat raja yang kedudukannya sekaligus sebagai penasihat perang (adviser militer).

Kusuma Mijil
Lalu penimbul (pawang) sebagai simbol para tokoh kasepuhan (spiritual), yang juga ikut membantu perjuangan dengan disiplin keilmuan yang dimilikinya. Ditambah sajen (sesaji), sebagai sarana atau media pemanggil roh para leluhur.
Pakem dalam ebleg diawali dengan formasi kusuma mijil yang menceritakan perjalanan pasukan Mataram Sultan Agung dari Keraton Mataram Kartasura menuju ke arah barat. Selanjutnya formasi persembahan (puja cakrakusuman) dengan cara kedua tangan disatukan di atas kepala, kemudian diturunkan sampai di depan mata / hidung, menghadap ke empat penjuru mata angin dan bergerak sesuai dengan arah jarum jam.

Giliran formasi kuda berbaris (turangga jejer) yakni pasukan kuda berhadap – hadapan. Barongan mengambil posisi di depan, di tengah dan di belakang pasukan kuda. Formasi tersebut melambangkan latihan militer dan pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Agung. Tiga posisi tersebut melambangkan sosok pemimpin yang wajib memiliki jiwa ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
Setelah itu formasi huruf Sa (Jawa)/ Sandi Aksara sebagai simbol kata Sultan Agung. Kemudian formasi Margi Ewuh yang melambangkan perjalanan pasukan Mataram di medan pertempuran yang dipimpin oleh Senopati Margi Ewuh yang hingga kini makamnya masih terpelihara di Panjer.
Lalu formasi Silang (Kusuma Sungsang) yang melambangkan strategi perang pasukan Mataram untuk menjaga stamina agar tetap prima di medan peperangan. Dilanjutkan formasi Lumbungan Badranala yang melambangkan perjalanan pasukan Mataram menuju medan pertempuran, di mana mereka menemukan lumbung padi di Panjer milik Ki Badranala. Dan, menggunakan daerah tersebut sebagai pusat kekuatan logistik serta mengatur strategi penyerangan.
Kemudian formasi Kuda Tidur (Turangga Sirep). Gerakan formasi tersebut, pasukan berkuda putih bernomor 1 bangun dan berkeliling mengontrol pasukan hingga satu putaran. Itu melambangkan strategi gerilya dengan teknik senyap sebagai ciri khas strategi perang pasukan Mataram saat mendekati wilayah musuh (VOC).
Formasi berikutnya Kuda Bangun (Turangga Lurug) yang melambangkan komando panglima perang untuk melakukan penyerangan.
Dan, Mendem/Janturan/ Trans (Kesurupan), melambangkan pertempuran pasukan Mataram yang penuh semangat membela tanah air dan bangsa sampai titik darah penghabisan.(47)

Tanggapan Di Acara Hajatan
Kuda Lumping, yang mengadopsi kesenian ebleg itu sudah merakyat di Kabupaten Kebumen. Sedikitnya terdapat 108 grup yang tersebar di kabupaten berslogan “Beriman” tersebut. Kendati kalah banyak dengan grup kesenian Jam Janeng yang mencapai seribuan grup, kuda lumping terlihat paling eksis. Bahkan di saat kesenian yang mengadopsi dari Walisongo itu nyaris tenggelam, kuda lumping tetap berkibar.
Pada 2008, Kebumen juga mampu memecahkan rekor Muri kuda lumping terbesar di Indonesia. Kasi Sejarah Seni dan Nilai Tradisi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kebumen, Bambang Budiono didampingi Eko Edi Prasetyo mengatakan, data grup kesenian yang belum tercatat itu jauh lebih banyak. “Kuda lumping memang sudah merakyat, tetapi kami berupaya untuk memasyarakatkan Ebleg, “ katanya.
Keberadaan kesenian kuda lumping, lanjutnya tetap diberi pembinaan serta rekomendasi pengesahan dan perlawatan, agar bisa tampil di luar daerah. Kendati demikian, hingga kini masih banyak grup kesenian kuda lumping yang belum terdaftar di Disparbud, terlebih kesenian jam janeng yang hampir di setiap RW memiliki lebih dari satu grup. “Di Kebumen, jumlahnya mencapai seribuan grup jam janeng,” imbuhnya.
Asli Kebumen

Secara terpisah, Kasi Seni Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kebumen, Isma’un Spd MPd didampingi Bambang Eko Susilo menambahkan, pelestarian kesenian Ebleg dan Jam Janeng dilakukan bersama-sama. Menurutnya kesenian tersebut asli dari Kebumen. “Pembinaan juga diberikan kepada para siswa dengan mendirikan bengkel seni. Outputnya untuk festival ebleg dan jam janeng,” katanya.
Festival yang digelar rutin itu sekaligus untuk regenerasi. Jadi, di 26 UPT Dikpora kecamatan yang ada di Kebumen. Lanjut Isma’un, masing – masing memiliki grup ebleg dan jam janeng.

Untuk kalangan umum, grup kesenian kuda lumping kerap mengisi berbagai kegiatan seperti hajatan, merdi bumi serta peringatan HUT kemerdekaan, bahkan sudah menjadi naluri sebagian masyarakat Kebumen, yang mewajibkan untuk nanggap kuda lumping setiap menggelar kegiatan.
Satu grup yang terdapat 40 personel itu ditanggap dengan biaya Rp. 1,5 juta untuk lokasi di lingkungan sekitar. Jika wilayahnya jauh, maka ditambah biaya transportasi.(Arif Widodo-47)

Oleh Arief Widodo (Suara Merdeka Cetak), Minggu, 25 September 2011

https://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2012/05/kolaborasi_ebleg_kebumen_dan_tni_011_n.jpghttps://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2012/05/kolaborasi_ebleg_kebumen_dan_tni_011_n-150x150.jpgAnanda. RBudayaBarongan ala Kebumen,Ebleg,Kebumen Beriman,Kesenian Khas Kebumen,Kesenian Tradisional KebumenJAUH sebelum kesenian kuda lumping ada, nenek moyang kita sudah mengenal ebleg. Kesenian tradisional asli Panjer (nama Kabupaten Kebumen masa lampau) itu, sebagai cikal bakal tumbuhnya kesenian kuda lumping (jaran kepang) di berbagai daerah, termasuk Kebumen. Bahkan di Negara Suriname. Panjer, yang kini dijadikan nama sebuah kelurahan di kabupaten berslogan...Kembalinya jati diri Bangsa Indonesia yang berpancasila