SENDRATARI YUDHA CAKRAKUSUMAN PANJER (KESENIAN TRADISIONAL “EBLEG SINGA MATARAM”)

 Asal usul sendratari Yudha Cakrakusuman Panjer (Ebleg Singa Mataram) sebagai cikal bakal tumbuhnya kesenian Kuda lumping/Jaran Kepang di Kabupaten Kebumen, dan beberapa daerah lain, Hingga di Suriname

 

Penari kuda kepang dalam acara peringatan ulang tahun kedua dari Batalyon Infantri KNIL V Andjing Nica, 17 Desember  1947 Gombong - Kebumen (Tropenmuseum)
Penari kuda kepang dalam acara peringatan ulang tahun kedua dari Batalyon Infantri KNIL V Andjing Nica, 17 Desember 1947 Gombong – Kebumen (Tropenmuseum)

Sendratari Yudha Cakrakusuman adalah kesenian tradisional asli dari kabupaten Panjer (nama kabupaten Kebumen masa lampau dimana kabupaten Panjer saat itu menjadi basis kekuatan militer dan lumbung pangan Kerajaan Mataram/Sultan Agung Hanyakrakusuma saat memerangi Belanda. Masa Pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah masa keemasan Mataram. Sesuai catatan perjalanan seorang Belanda yang bernama Rijklof Van Goens (Ia mengunjungi Mataram lima kali pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma) disebutkan bahwa:

 

 

 

“Mataram di bawah Sultan Agung bagaikan sebuah Imperium Jawa yang besar dengan rajanya yang berwibawa. Istana kerajaan yang besar dijaga prajurit yang kuat, kereta sudah ramai, rumah penduduk jumlahnya banyak dan teratur rapi, pasarnya hidup, penduduknya hidup makmur dan tenteram. Kraton juga punya penjara, tempat orang – orang jahat pelanggar hukum dan tawanan untuk orang Belanda yang kalah perang di Jepara. Pada masa Sultan Agung inilah dikenal secara resmi adanya sebuah daerah lumbung pangan (padi) di Panjer dengan bupatinya bernama Ki Suwarno “.

Sejarah pun mencatat bahwa kekalahan Mataram diakibatkan habisnya stok pangan yang disebabkan oleh dibakarnya lumbung pangan yang terbesar di daerah Panjer oleh Belanda. Keberadaan Sultan Agung Hanyakrakusuma dan pasukan Mataram di Kadipaten Panjer serta perjuangannya melawan Belanda di Batavia diabadikan oleh para seniman Mataram yang juga berada di Panjer dalam sebuah sendratari perang yang diberi nama YUDHA CAKRAKUSUMAN. Sendratari perang ini kemudian lebih dikenal dengan nama Ebleg Singa Mataram dikarenakan media peraganya didominasi oleh tiruan kuda yang terbuat dari Ebleg (Anyaman). Ebleg Singa Mataram memiliki gerakan Pakem yang tidak boleh diubah karena di dalamnya mengandung unsur spiritual, filosofi, Ideologi Nusantara, moral, sejarah, dan patriotisme.

 

Ciri Khas Kesenian Ebleg dan Filosofinya

Instrumen – instrumen yang wajib ada dan menjadi ciri khas Ebleg (yang membedakan dengan Jatilan dan Kuda Lumping) adalah :

  1. Barongan; Simbol Sosok Sultan Agung Hanyakrakusuma yang terkenal dengan julukan Singa Mataram.
  2. Jaran Kepang (warna Hitam dan Putih); Simbol Pasukan Berkuda Mataram yang gagah berani. Warna Putih melambangkan Turangga Seta/Kuda Putih, sedangkan warna Hitam melambangkan Turangga Sembrani/Kuda Hitam; keduanya merupakan mitologi kuno masyarakat Jawa sebagai simbol Daya Kekuatan Non Materi yang tangguh yang harus menyatu, padu dan seimbang. Turangga Seta adalah simbol Kekuatan Ketuhanan Murni (bersifat Ruhani) sedangkan Turangga Sembrani adalah simbol Kekuatan Raga dan Alam.
  3. Gending; simbol dari kitab Sastra Gendhing karya Sultan Agung Hanyakrakusuma yang di dalamnya berisi ilmu politik, pemerintahan dan strategi perang Beliau. Kitab ini berfungsi sebagai suatu aturan yang telah disepakati dan dijadikan pedoman militer dan pemerintahan di masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (sehingga dalam Kesenian Ebleg, semua harus mematuhi dan bergerak sesuai dengan gending tanpa terkecuali). Adapun gending yang wajib digunakan adalah eling – eling dan riti – rito. Eling – eling adalah simbol nasihat agar generasi penerus selalu mengingat jasa para leluhur pendahulu bangsa, Riti – rito berasal dari kata irit – irita; sebuah tuntunan untuk tetap berprihatin dan tidak berfoya – foya meskipun jaman telah berubah, meskipun kemerdekaan telah dicapai, sebab sikap tidak berprihatin dan berfoya – foya adalah sumber/awal kehancuran. Gending Eling – eling Banyumasan dan Riti – rito Banyumasan adalah gubahan dari Gending asli (Ebleg Kabupaten Panjer/Kebumen yang sifatnya sederhana) dengan kata lain gending Eling – eling dan Riti – Rito versi Banyumas.
  4.  Penthul; simbol Penasehat Raja yang kedudukannya sekaligus sebagai Penasehat Perang (Adviser Militer).
  5. Penimbul/Pawang; simbol para tokoh kasepuhan/spiritual yang juga ikut membantu perjuangan dengan disiplin keilmuan yang dimilikinya.
  6.  Sajen/sesaji; Sarana/media pemanggil ruh para leluhur. Masyarakat Jawa sejak jaman dahulu mempunyai keyakinan bahwa Ruh para pendahulu masih bisa berinteraksi dengan manusia yang hidup, bahkan bisa bekerjasama untuk menambah kekuatan pasukan (selain menggunakan daya Pusaka). Sajen Ebleg bermacam – macam yang semuanya adalah makanan yang lazim dimakan oleh orang – orang jaman dahulu (misal: rucuh, kelapa muda, jajan pasar, pisang, kembang telon dan menyan/sebagai wangi – wangian, rokok lintingan, dawet, telur, daun tawa dan air putih dll) sebagai pembuktian bahwa ruh yang merasuki/mempengaruhi para penari adalah ruh para leluhur.
  7.  Mendem/Trans/Janturan (keadaan trans yang disebabkan oleh bersinerginya Ruh para Leluhur pada tubuh para penari); simbol pertempuran sekuat tenaga lahir dan batin demi mempertahankan tanah air tercinta. Kondisi Mendem (Trans) hingga kondisi kesurupan tidaklah wajib, yang diutamakan adalah bangkitnya kepercayaan diri dari para pemain. Mendem juga membuktikan bahwa Ruh itu benar – benar ada. Karena Ruh yang memasuki para penari adalah Ruh Leluhur, maka Ebleg Pakem di dalamnya tidak didapati atraksi naik tiang, berkubang, melata, dan lain – lain yang semuanya merupakan efek dari mahluk halus.
  8.  PAKEM/Tata Urutan Formasi Gerakan

 

 

Gerakan Pakem Sendratari Yudha Cakrakusuman Panjer (Ebleg Singa Mataram) dan Filosofinya.

  1. Kusuma Mijil – Filosofi: menceritakan perjalanan pasukan Mataram Sultan Agung dari kraton Mataram Kartasura menuju ke arah Barat.
  2.  Puja Cakrakusuman/Formasi Persembahan – Filosofi: Posisi Sembah di atas kepala melambangkan keyakinan masyarakat Jawa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan sembah di depan mata/hidung melambangkan sikap menghormati sesama. Di mana pun berada, masyarakat Jawa selalu mengutamakan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menghargai sesama manusia serta ciptaan lainnya/alam semesta). Gerakan yang sesuai dengan arah jarum jam melambangkan ilmu pengetahuan astronomi masyarakat Jawa “Naga Jatingarang“ bahwa Naga Dina, Naga Sasi, Naga Taun dan Naga Windhu lakune mesti manengen/ke kanan. Arah Utara digunakan sebagai pedoman gerak strategi perang yang berdasar pada berkumpulnya kekuatan alam pada setiap bulan, dimana kekuatan tersebut pada awal tahun Jawa berada di arah Utara (saduluring LOR Kaslametan). Kedua Tangan disatukan di atas kepala kemudian diturunkan sampai di depan mata/hidung, menghadap ke 4 penjuru mata angin dan bergerak sesuai dengan arah jarum jam. Pada Sembah I (arah pertama Utara), Barongan memimpin di depan (gerak sembah barongan dengan cara kepala mendongak ke atas lalu menunduk ke bumi/ sujud mencium bumi. Caplokan Barongan atau Kendang digunakan sebagai komando sembah Pasukan Berkuda).
  3. Sandi Aksara/Formasi Huruf Sa (Jawa) – Filosofi: Huruf Sa (Jawa) adalah simbol kata Sultan Agung sebagai Subjek utama dari sendratari Ebleg.
  4. Turangga Jejer Margi Ewuh/Formasi Kuda Berbaris –Filosofi: Melambangkan latihan militer dan formasi pasukan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Barongan mengambil posisi di depan, di tengah dan di belakang pasukan berkuda melambangkan sosok pemimpin yang wajib memiliki jiwa Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. (Pasukan kuda menjadi dua kelompok). Barongan mengambil posisi di depan, di tengah dan di belakang pasukan kuda. perjalanan pasukan Mataram di medan pertempuran yang terkadang sulit dan sempit sehingga mengharuskan pasukan menjadi satu barisan. Pasukan dipimpin oleh Senopati Margi Ewuh yang dikenal ahli dalam mengatur pasukan berkuda di medan yang sulit. Situs makam Margi Ewuh berada di pemakaman Panjang Panjer/Belakang Kodim 0709 Kebumen.
  5. Kusuma Sungsang/Formasi Silang – Filosofi: Melambangkan strategi perang pasukan Mataram dalam menjaga stamina agar tetap prima di medan peperangan yang jauh dengan cara mengganti/menggilir tugas pasukan.
  6. Lumbungan Badranala – Filosofi: Melambangkan perjalanan pasukan Mataram di bawah pimpinan Ki Suwarno dan Ki Badranala sampai di wilayah Panjer, dimana kemudian daerah tersebut dijadikan Lumbung Padi (pusat logistik) terbesar dan basis militer Mataram. (Barongan yang berada di luar lingkaran melambangkan bahwa Raja mempunyai kepercayaan penuh kepada Advisernya, sebagai cermin dari pemerintahan yang baik, demokratis dan harmonis). Gerakan mengumpul menjadi lingkaran kecil diteruskan dengan formasi merenggang yang diulang hingga tiga kali melambangkan kematangan perhitungan strategi perang pasukan Mataram. Tembang yang dilantunkan Penthul dan kemudian dijawab oleh Pasukan berkuda melambangkan Komando Sandi Yudha dari Adviser Militer Mataram yang hanya dipahami oleh pasukan Mataram.
  7. Turangga Sirep/Formasi Kuda Tidur – Filosofi: Pasukan Mataram mendekati wilayah Musuh (VOC); Formasi Tidur melambangkan strategi gerilya dengan tekhnik SENYAP sebagai ciri khas strategi perang pasukan Mataram. Barongan dan Kuda Putih bernomor 1 bangun dan berkeliling melambangkan Sultan Agung dan Panglima Perang pasukan Mataram yang sedang memeriksa dan memastikan seluruh anak buahnya telah siap untuk melakukan penyerangan.
  8. Turangga Lurug/ Formasi Kuda Bangun – Filosofi: Penyerangan Pasukan Mataram terhadap VOC di Batavia dan berhasil memporakporandakan musuh hingga di benteng Pendem Solitude (kini menjadi masjid Istiqlal). Kendang melambangkan komando Panglima Perang.
  9. Yudha Cakrakusuman/Mendem/Janturan/Trans – Filosofi: Melambangkan pertempuran pasukan Mataram yang penuh keyakinan, semangat membara, berani mati membela tanah air dan bangsa sampai titik darah penghabisan. Penimbul melambangkan Tokoh Spiritual/Kasepuhan yang juga ikut membantu di belakang medan pertempuran dengan Ilmu Spiritual yang mereka miliki guna menambah daya dan kekuatan pasukan demi terwujudnya kemenangan. Sebuah semangat patriotisme yang harus dimiliki oleh seluruh elemen masyarakat demi mempertahankan Ibu Pertiwi ini.

 

Pagelaran Ebleg di Suriname dan Belanda
 

 

 

Kesenian ini  sampai di Negara Suriname dibawa oleh Amatdanom, seorang warga Panjer yang menjadi tenaga kerja perkebunan. Ia diberangkatkan dari Panjer pada tahun 1918. Di Suriname ia mempopulerkan berbagai macam kesenian Jawa, mulai dari Ebleg, Wayang (baik mayang, membuat wayang, musik pengiring wayang, dll), berbagai tarian Jawa, dll. Dalam perkembangannya ia mendapat penghargaan dari pemerintah Suriname dan dikenal sebagai Cultuurman Suriname. Ia memiliki banyak murid dan melahirkan seniman – seniman seni tradisi Jawa di sana. Hingga kini klan Amatdanom mendominasi dalam ranah seni dan budaya Jawa di Suriname. Kesenian Jaran kepang/Jatilan/Cepaplok Suriname masih kental dengan beberapa gerakan Pakem Panjer antara lain Sembahan dan Lumbungan Badranala.


Sementara itu pasca kemerdekaan, ketika para penduduk Panjer telah kembali dari pengungsian (tahun 1950 an pasca Agresi Militer Belanda II) kesenian luhur ini kembali diaktifkan di Panjer oleh Ki Dalang Paridjo Pringgoatmodjo, sehingga kemudian lebih dikenal masyarakat awam dengan sebutan Ebleg Parijo.

Pagelaran Sendratari Yudha Cakrakusuman (Ebleg Singa Mataram) rutin diadakan setiap hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon di situs Kebun Raja Panjer yang kini berubah nama menjadi Taman Manunggal KODIM 0709 Kebumen, dimana tempat tersebut pada masa itu menjadi Kotaraja dan Alun – alun Kadipaten Panjer. Kiranya seni budaya Ebleg pakem ini wajib dilestarikan dan diamankan segera sebagai warisan Karya Seni Bernilai Tinggi dari para pendahulu bangsa serta wujud Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara di bidang Budaya.

 

Kebumen, Selasa Kliwon 14 September 2010 – Oleh : R. Ravie Ananda S. Pd

https://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2012/09/Tari-dengan-kuda-kepang-untuk-memperingati-ulang-tahun-kedua-dari-Batalyon-Infantri-KNIL-V-Andjing-Nica-17-Desember-1947-Gombong.jpghttps://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2012/09/Tari-dengan-kuda-kepang-untuk-memperingati-ulang-tahun-kedua-dari-Batalyon-Infantri-KNIL-V-Andjing-Nica-17-Desember-1947-Gombong-140x140.jpgAnanda. RBudayaEbleg,Ebleg Pakem Panjer,Panjer Kebumen,Sendratari Yudha Cakrakusuman,Situs Sarinabati Panjer KebumenSENDRATARI YUDHA CAKRAKUSUMAN PANJER (KESENIAN TRADISIONAL “EBLEG SINGA MATARAM”)  Asal usul sendratari Yudha Cakrakusuman Panjer (Ebleg Singa Mataram) sebagai cikal bakal tumbuhnya kesenian Kuda lumping/Jaran Kepang di Kabupaten Kebumen, dan beberapa daerah lain, Hingga di Suriname   Sendratari Yudha Cakrakusuman adalah kesenian tradisional asli dari kabupaten Panjer (nama kabupaten Kebumen masa lampau...Kembalinya jati diri Bangsa Indonesia yang berpancasila