Lukisan Peristiwa Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Nicolaas Pieneman
Lukisan Peristiwa Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Nicolaas Pieneman (wikipedia)

Perang Dipanegara dimulai pada tanggal 20 Juli 1825. Perlawanan rakyat yang gagah berani di Tegalrejo disambut oleh masyarakat luas di luar daerah tersebut. Pengikut Pangeran Dipanegara kian hari kian banyak. Hal ini mengakibatkan Belanda semakin takut, terlebih setelah bergabungnya Kyai Maja, seorang ulama besar dari Maja (sebuah tempat di sebelah Barat Laut Surakarta). Kyai Maja kemudian menjadi penasehat Pangeran Dipanegara. Beliau wafat dalam pembuangan di Minahasa pada tanggal 20 Desember 1849 setelah sebelumnya dapat ditangkap oleh Belanda melalui muslihat liciknya. Kyai Maja ditangkap bersama putranya yang bernama Kyai Gazali, dan seorang saudara Beliau yang bernama Embah Sepuh Baderan.
Selain Kyai Maja, pasukan Pangeran Dipanegara diperkuat oleh Sentot alias Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja. Sentot adalah cucu dari Sultan Hamengku Buwana I (dari jalur Ibu). Ayah Sentot bernama Raden Rangga Prawiradirja III, tewas dalam pertempuran karena menentang Gubernur Jenderal Daendels (Belanda). Keberanin Sentot sangat diakui Belanda. Hal ini dibuktikan dalam salah satu surat Belanda. Sentot ditangkap dengan akal licik Belanda pada tanggal 24 Oktober 1829 di Yogyakarta, lalu ia dibawa ke Jakarta dan kemudian diasingkan di Bengkulu. Sentot wafat dalam pembuangan di Bengkulu pada tanggal 17 April 1855, kira-kira pukul 10 malam dalam usia kurang lebih 47 tahun.
Pangeran Dipanegara menggunakan strategi perang gerilya. Taktik ini membuat Belanda semakin gentar karena kemenangan besar selalu diperoleh Pangeran Dipanegara dan pasukannya. Dengan akal liciknya, Belanda kemudian berhasil menghasut Pemerintahan Kraton pada saat itu dengan menyebarkan berita bahwa Pangeran Dipanegara adalah penghianat dan pemberontak. Beberapa Tokoh pembesar di kraton yang silau dengan iming-iming Belanda pun makin membuat sukses akal Belanda dalam mengalahkan Pangeran Dipanegara. Akhirnya karena situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan, Pangeran Dipanegara beserta pasukannya meninggalkan Mataram menuju ke arah barat.

 

Long March Pangeran Dipanegara
Untuk membangkitkan semangat juang rakyat di berbagai penjuru, Pangeran Dipanegara mengadakan perjalanan dimulai dari kaki gunung Merapi sampai ke Pedalaman Banyumas. Dari Pekalongan utara, sampai ke pesisir selatan Bagelen.

 

Pos–Pos Pertahanan Pangeran Dipanegara di Medan Pertempuran Barat
Dalam melakukan pertempuran, Pangeran Dipanegara selalu berpindah-pindah dan mendirikan pos-pos pertahanan. Beliau menggunakan wilayah di Jalur Selatan sebagai petahanan utama karena di daerah itu banyak sekali kekuatan Belanda yang akan digunakan untuk membantu pasukan lain di sebelah timur. Dengan mematahkan kekuatan dari barat, kekuatan Belanda di timur (Mataram) akan mudah dikalahkan oleh pasukan yang berada di pos-pos pasukan Dipanegara di sana.

Pertahanan Pangeran Dipanegara di medan barat antara lain di Pekeongan, Kemit, Panjer, Merden, Ambal, Ngaran(Ungaran), Telaga (Wawar; Mirit), Gunung Persada, Linggis, Cengkawak, Kalibawang dan lain-lain. Belanda yang mengetahui adanya kekuatan pasukan Pangeran Dipanegara di daerah tersebut, segera mendirikan pula pos-pos tandingan di daerah yang sama. Belanda membangun pos pertahanan tandingan di Pekeongan, Kemit dan Panjer (selesai 16 Juli 1828), di Merden (selesai 1 Agustus 1828). Dalam musim kemarau tahun 1828 dapat dikatakan di hampir seluruh daerah pertahanan Pangeran Dipanegara telah berdiri pos pertahanan tandingan milik Belanda.

Selain mendirikan pos-pos tandingan, Belanda juga menggertak rakyat dengan membakar desa-desa yang dicurigai mendukung pejuangan Pangeran Dipanegara. Di desa Wanakrama, Belanda melakukan perampasan terhadap ternak rakyat.

Daerah gerilya pasukan Pangeran Dipanegara yang sangat terkenal kuat dan aktif oleh Belanda adalah di daerah Grogol.  Perlawanan di daerah ini  dipimpin oleh Dipanegara Anom (putra Pangeran Dipanegara), Imam Musbah, Mas Lurah, Pangeran Sumanegara, Pangeran Dipakusuma dan lain-lain. Dikarenakan begitu kuatnya pasukan Pangeran Dipanegara di Grogol, akhirnya atas perintah Jenderal  De Kock, pasukan Belanda di bawah pimpinan  Mayor Van Gazen yang berada di pertahanan Bantulkarang dan pasukan pimpinan Letnan Kolonel Le Bron De Vexela yang berada di Kembangarum digerakkan menuju Grogol membantu Letnan Kolonel Ledel beserta pasukannya yang sebelumnya telah berada di daerah tersebut.

Belanda juga menggunakan pembesar-pembesar yang dianggap berpengaruh di daerah tersebut untuk membantu menyerang kekuatan Dipanegara dan menghasut rakyatnya. Pembesar – pembesar tersebut antara lain Tumenggung Sindunegara (kemudian menjadi Bupati Roma) dan Tumenggung Arungbinang (Bupati Kebumen).

Pada tanggal 7 November  1828 Perlawanan rakyat di daerah Kemukus berkobar hebat. Sepasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Mess mencoba menggempur pasukan Dipanegara di bawah pimpinan Tumenggung Mertanegara. Pasukan Kapten Mess dikepung oleh Pasukan Tumenggung Mertanegara. Kapten Mess beserta pasukan Belanda yang berhasil lolos dari kepungan di desa Kemukus tersebut berlarian menuju Banyumas. Kedudukan Belanda di Banyumas pun terancam. Pada pertempuran tersebut Pangeran Dipanegara berkedudukan di Karangduwur.

 

Periode Perundingan
Pada tanggal 31 Oktober 1828 diadakanlah perundingan antara pihak Pangeran Dipanegara yang diwakili oleh Kyai Maja dengan pihak Belanda di Mlangi. Perundingan tersebut gagal dan dilanjutkan perundingan yang kedua pada tanggal 5 November 1828 dimana pihak Belanda diwakili oleh Letnan Roeps, Letnan Kolonel Wiranegara, ulama-ulama dan patih-patih dari Yogyakarta dan Surakarta. Perundingan dilakukan di daerah Pengasih. Perundingan ini pun gagal karena Kyai Maja tidak mendapat kekuasaan yang penuh dari Pangeran Dipanegara. Dalam perundingan inilah, Kyai Maja ditangkap oleh Belanda. Ikut tertangkap pula kyai Tuku Maja, Kyai Baderan, Kyai Kasan Besari (kakak Kyai Maja), Pati Urawan, Tumenggung Pajang dan lain-lain. Belanda juga berhasil melucuti 50 laras senapan dan kurang lebih 300 pucuk tombak dari pasukan Kyai Maja yang ikut dalam perundingan tersebut. Kyai Maja dan tawanan lain kemudian diserahkan langsung kepada Jenderal De Kock di Klaten yang sengaja mengawasi langsung perundingan tersebut.

Setelah berbagai perundingan mengalami kegagalan, maka pada tanggal 10 April 1829 petempuran antara pasukan Dipanegara dan Belanda dimulai kembali. Untuk mempersempit gerak pasukan Dipanegara, pertahanan pasukan Belanda yang tadinya berada di Kalibawang, dimajukan ke desa Wadas. Pasukan Belanda dipimpin oleh Kolonel Chocius, Overste Sollewijn, dan Mayor van Spengler. Pada saat itu posisi Pangeran Dipanegara berada di daerah Gowong. Pasukan Dipanegara di bawah pimpinan Pangeran Sumanegara berusaha menyerang Grogol yang pada waktu itu telah behasil direbut Belanda. Pertempuran pada kurun tahun ini sangat luar biasa hingga Belanda mendatangkan bala bantuan dari luar Jawa seperti : Menado, Ambon, dan lain – lain. Semua didatangkan ke daerah pertempuran di barat.

 

Dukungan Kabupaten Roma terhadap Dipanegara
Pada saat terjadinya perang Dipanegara, Raden Tumenggung Kertanegara IV selaku bupati Roma saat itu bersama warganya ikut mendukung Pangeran Dipanegara. Kertanegara IV kemudian diberi gelar Senopati Banyakwide oleh Pangeran Dipanegara.

Pada tanggal 18 April 1829 Tumenggung Banyakwide tertangkap oleh Mayor Buschkens di Kemit. Meskipun Bupati Roma IV ini tertangkap oleh Belanda, perlawanan rakyat Roma terus berlangsung. Bahkan pasukan Belanda secara sekonyong-konyong diserang oleh pasukan rakyat di desa Candi. Penyerangan mendadak ini mengakibatkan jatuhnya korban dipihak Belanda, sehingga desa Candi pun kemudian dibumihanguskan Belanda sebagai wujud kemarahan mereka, sekaligus untuk memberi peringatan pada rakyat yang mendukung Dipanegara.

Pada tanggal 31 Mei 1829 pertahanan Belanda di Merden diserang oleh pasukan Dipanegara di bawah pimpinan Kertapengalasan, Jayasenderga dan lain-lain. Belanda pun memperkuat pertahanan di kawasan selatan dimulai dari Kemiri, Bayam, Bandong, Glagah, Linggis, Wawar (Mirit), dan Petanahan.

Pada tanggal 14 Oktober 1829 sepasukan patroli Belanda yang dipimpin oleh Mayor Dudzeele menangkap Kanjeng Ratu Ageng (Ibu Pangeran Dipanegara) dan RA. Mertanegara (putri Sentot Prawiradirja yang menjadi isteri Basah Mertanegara) di daerah Karangwuni, timur Kretek (sekarang masuk dalam wilayah kecamatan Rawakele). Peristiwa ini dilanjutkan dengan Perundingan Sentot Prawiradirja di Imogiri pada tanggal 17 Oktober 1829 yang berakhir dengan pernyataan Sentot untuk mengakhiri perlawanan terhadap Belanda.

Petempuran yang berlangsung lama dan berbagai tekanan terhadap beberapa pimpinan pasukan Pangeran Dipanegara ternyata mengakibatkan semakin berkurangnya kekuatan Dipanegara. Banyaknya tokoh yang menyerah kepada Belanda seperti : Pangeran Aria Suriakusuma (pada tanggal 1 November 1829) dan Kertapengalasan (pada pertengahan November 1829), Tumenggung Kasan Munadi dan lain-lain, digunakan Belanda untuk berhubungan dengan Dipanegara.

Pada suatu ketika pernah pula terjadi pertempuran di tepi jurang. Pasukan Pangeran Dipanegara disergap oleh Belanda. Bahkan Belanda berhasil merampas beberapa ekor kuda pasukan Dipanegara. Pangeran Dipanegara beserta beberapa kawannya berhasil meloloskan diri. Pangeran Dipanegara sempat jatuh sakit dan dirawat di hutan Bulugantung. Beliau ditemani pengikut setianya bernama Rata dan Bantengwareng. Setelah sembuh, Beliau melanjutkan perjuangannya kembali. Sesampainya di hutan Laban, Pangeran Dipanegara kembali jatuh sakit. Bahkan tergolong lebih keras dari sakitnya yang sudah-sudah. Setelah sembuh, Beliau kembali melanjutkan perjuangannya di desa Kejawan. Di daerah tersebut Pangeran Dipanegara mengadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin pasukan yang masih setia. Mereka datang dari Mataram antara lain: Mas Pengulu, Kyai Mlangi, Haji Imam Raji dan lain-lain.

Belanda dibuat panik dengan berita keberadaan Pangeran Dipanegara di berbagai tempat. Patroli pun lebih giat dilakukan. Pada tanggal 8 Januari 1830 Pangeran Dipakusuma (putra Pangeran Dipanegara) berhasil ditangkap Belanda. Dilanjutkan pada tanggal 18 Januari 1830 Patih Danuredja (Patih Perjuangan Pangeran Dipanegara yang diangkat oleh rakyat) menyerahkan diri. Peristiwa beruntun ini semakin melemahkan kekuatan perjuangan pasukan Pangeran Dipanegara.

 

Pertemuan Pertama Pihak Belanda dengan Pangeran Diponegoro
Pada tanggal 16 Februari 1830, terjadilah petemuan yang pertama antara Pangeran Dipanegara dan wakil tentara Belanda yakni Kolonel Cleerens (mewakili Jenderal de Kock yang sedang berada di Batavia) di desa Roma Kamal, di sebelah utara Roma Jatinegara. Pangeran Dipanegara berada di Roma Kamal bersama Kyai Mohammad Syafi’i, penasehat Pangeran Dipanegara pasca penangkapan Kyai Maja. Kyai Mohammad Syafi’i sendiri adalah adik ipar Pangeran Dipanegara (ia menikah dengan BRA. Maryam, adik Pangeran Dipanegara).

Pangeran Dipanegara menolak mengadakan perundingan dengan Kolonel Cleerens karena Beliau menganggap Kolonel tersebut tidak setingkat dengan Pangeran Dipanegara sebagai pemimpin perang. Pangeran Dipanegara kemudian berpindah tempat di desa Kejawang, utara Soka, menunggu Jenderal De Kock kembali dari Batavia. Pada tanggal 17 Februari 1830 untuk kedua kalinya Kolonel Cleerens menemui Pangeran Dipanegara. Kali ini Beliau ditemui di desa Kejawang. Dengan alasan yang disampaikan Kolonel Cleerens akhirnya Pangeran Dipanegara bersedia mengadakan perundingan dengan Jenderal De Kock di Magelang. Pangeran Dipanegara pun berangkat dari desa Kejawang beserta rombongan menuju Magelang.

 

Penangkapan Pangeran Dipanegara
Di sepanjang jalan menuju Magelang, Pangeran Dipanegara disambut hikmat oleh dan hormat oleh rakyat. Pada tanggal 25 Februari 1830 Jenderal De Kock tergesa – gesa meninggalkan Batavia setelah mendengar kabar bahwa Kolonel Cleerens berhasil mengadakan perjanjian perundingan dengan Pangeran Dipanegara. Pada tanggal 8 Maret 1830 jam 12 Siang betepatan di bulan Ramadhan, Pangeran Dipanegara bersama rombongan kurang lebih 800 orang memasuki kota Magelang. Beliau disambut dengan upacara kehormatan oleh  Jenderal De Kock beserta opsir-opsir Belanda seperti : Kolonel Cochius, Letnan Kolonel Roest dan lain-lain. Jenderal De Kock juga mempersembahkan kuda tunggangan yang bagus sekali kepada Pangeran Dipanegara sebagai tipu muslihat. Sebelum kedatangan Pangeran Dipanegara di Magelang, ternyata Belanda telah menyebarkan berita palsu bahwa kepada rakyat bahwa kedatangan Pangeran Dipanegara bukan untuk berunding melainkan untuk meyerahkan diri.

Kuda tunggangan pemberian Jenderal De Kock diserahkan oleh Tumenggung Mangunkusuma sebagai tanda persahabatan. Esok paginya Pangeran Dipanegara diberi uang F 5000 untuk membeli barang-barang keperluan Beliau. Belanda juga mengirimkan lagi dua ekor kuda tunggangan Pangeran Dipanegara yang berhasil ditangkap ketika peperangan. Pangeran Dipanegara dan putra-putranya juga diberi kain laken untuk pakaian. Untuk biaya-biaya selama bulan puasa Belanda memberikan uang lagi sebesar f 5000.

Perundingan akhirnya dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 28 Maret 1830 (2 Syawal Tahun Jimawal 1758). Pangeran Dipanegara datang berkuda diiringi oleh beberapa putera Beliau, pengikut-pengikut setia dan sekitar 100 pasukan bersenjata pada pukul setengah delapan pagi. Pangeran Dipanegara disambut oleh Jenderal De Kock. Beliau bersama dengan Dipanegara Muda (putra Beliau), RM. Jonad (putra Beliau), RM. Raab (putra Beliau), Basah Mertanegara dan Kyai Badaruddin. Pihak Belanda diwakili oleh jenderal De Kock, Residen Valck, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bahasa. Perundingan dilakukan di kamar kerja Jenderal De Kock. Letnan Kolonel yang lain mengawasi perundingan di kamar yang lain.

Inti dari Perundingan adalah Pangeran Dipanegara tidak pernah sedikit pun berubah tekad untuk mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa. Pangeran Dipanegara yang tadinya berniat kembali di kediaman Beliau di Meteseh dan akan melanjutkan perundingan keesokan harinya akhirnya ditangkap Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Du Perron pada pukul sepuluh pagi. Tempat perundingan yang telah dikepung oleh Belanda membuat pasukan Dipanegara tidak berdaya. Pangeran Dipanegara kemudian dimasukkan ke dalam kereta Residen yang sudah disiapkan. Beliau kemudian secepatnya dibawa keluar dari Magelang menuju ke Ungaran dengan pengawalan pasukan yang dipimpin oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps. Dari benteng Belanda di Ungaran, Pangeran Dipanegara segera dibawa ke Semarang dan kemudian diangkut dengan kapal ke Batavia. Dari Batavia Beliau kemudian dibawa ke Makasar di Benteng Ujung Pandang. Akhirnya setelah menjadi tawanan yang terkurung di dalam Benteng Ujung Pandang selama 25 tahun lamanya, pada tanggal 8 Januari 1855 Pangeran Dipanegara wafat pada usia 70 tahun.

Berikut salinan laporan berita kematian Pangeran Dipanegara yang ditulis oleh pemerintah Belanda dalam Proses Verbal:

 PROSES VERBAL

Pada hari ini,tanggal delapan Januari seribu delapan ratus lima puluh lima, kami yang bertanda tangan di bawah ini telah pergi bersama-sama keruangan yang terletak di dalam Fort Rotterdam dan dipergunakan untuk tempat tinggal tawanan negara Pangeran Dipanegara dan keluarga serta pengiringnya dan mendapati bahwa tawanan negara tersebut pada pagi hari ini pukul setengah tujuh telah wafat dan menurut pendapat perwira kesehatan yang juga menjadi panitia ini kewafatan itu disebabkan berkurangnya kekuatan akibat usia yang lanjut.

Demikian dibuat dalam rangkap empat untuk dipergunakan dimana perlu.

 

Anggota-anggota panitia
(tt.)
J.G. CRUDELBACH
Assisten – residen dan magistraat,
J. LION, mayoor – infanteri,
F.A.M. SCHMITZ, perwira kesehatan kelas satu.

 

Pada hari itu juga, atas permintaan Pangeran Dipanegara sebelum Beliau wafat, jenazahnya dimakamkan di kampung Melayu di kota Makasar. Isteri Beliau beserta putra – putranya antara lain RM Kindar (25 tahun) dan M. Dul Kalbi (20 tahun) memutuskan untuk tidak pulang ke Jawa. Di kota Makasar, pangeran Dipanegara meninggalkan seorang isteri bernama Ratnaningsih dan tujuh orang anak. Mereka kemudian diberi tanah dan rumah oleh Pemerintah Belanda.

 

Sumber Buku:

  1. Brandes, J, BABAD TANAH JAWI Deel LI, 1900, Batavia: Albrecht Co, Martinus Nyhoff.
  2. De Graaf, H.J, HISTOGRAFI HINDIA BELANDA, Jakarta, Bhratara, 1971.
  3. P.J.F Louw, Kaarten En Teekeningen DE JAVA – OORLOG van 1825 – 1830, No. 2; Vestelijk Gedeelte van het Oorlogtoonel; Batavia; Topographisch Bureau 1897.
  4. M.D, Sagimun, Pahlawan Dipanegara Berjuang (Bara Api Kemerdekaan Nan Tak Kunjung Padam), 1956, Jogjakarta, Tjabang Bagian Bahasa, Djawatan Kebudajaan Kementerian P.P. dan K. Jogjakarta MCMLVII.

Tim Penggalian dan Penulisan Sejarah :

  1. Kapten Suko Wardoyo                    Kanminvetcad Kabupaten Kebumen
  2. Bambang Priyambodo, S. Sos      PPM Macab Kebumen
  3. Ravie Ananda, S. Pd                      Pemerhati Sejarah
  4. Serka Marjuki                                   KODIM 0709 Kebumen
  5. Pelda Sudarsin                                KODIM 0709 Kebumen

 

 

Harkitnas 20 Mei 2012
Kabupaten Kebumen

https://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2012/05/penagkapan-pangeran-diponegoro.jpghttps://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2012/05/penagkapan-pangeran-diponegoro-150x150.jpgAnanda. RSejarahBuku Sejarah Kebumen,Catatan Sejarah Kebumen,Pangeran Dipanegara,Perang Dipanegara,Perang Dipanegara di Kabupaten Kebumen,Sisi Gelap Sejarah Kebumen,Tempat-tempat Bersejarah di Kebumen,Tumenggung Arungbinang (Bupati Kebumen),Tumenggung SindunegaraPerang Dipanegara dimulai pada tanggal 20 Juli 1825. Perlawanan rakyat yang gagah berani di Tegalrejo disambut oleh masyarakat luas di luar daerah tersebut. Pengikut Pangeran Dipanegara kian hari kian banyak. Hal ini mengakibatkan Belanda semakin takut, terlebih setelah bergabungnya Kyai Maja, seorang ulama besar dari Maja (sebuah tempat...Kembalinya jati diri Bangsa Indonesia yang berpancasila