Tradisi Kenduri Nasi Mogana di Lerepkebumen
Tradisi Kenduri Nasi Mogana di Lerepkebumen (Epi. T – FB)

Lerepkebumen adalah sebuah desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Poncowarno, Kabupaten Kebumen. Nama Lerepkebumen diambil dari sebuah peristiwa perjalanan Pangeran Bumidirja, (paman Sultan Amangkurat I) yang sebelumnya menjabat sebagai dewan Parampara (Penasehat) Kerajaan Mataram.

Dikisahkan bahwa Amangkurat I (1646–1677) dalam menjalankan pemerintahan sering tidak sejalan dengan para bawahannya. Hukuman yang dijatuhkan terkadang tidak seimbang dengan kesalahan yang dilakukan. Patih dan seluruh jajaran pemerintahan kerajaan termasuk Kanjeng Pangeran Bumidirja yang merupakan dewan Parampara (Penasehat) berkali–kali memberi nasehat kepada sang Raja bahwa negara akan mengalami kekacauan jika ia tidak bertindak adil dalam menjalankan hukum dan pemerintahan. Namun nasehat–nasehat tersebut justru semakin membuat Amangkurat I marah dan memberi ancaman hukuman kepada Pangeran Bumidirja. Kesabaran Pangeran Bumidirja habis ketika Amangkurat I menjatuhkan hukuman penggal kepada Pangeran Pekik yang telah berjasa banyak kepada kerajaan saat itu (Pengeran Pekik berhasil merebut kembali Surabaya ke tangan Mataram dan menundukkan Sunan Giri yang memberontak kepada Mataram) hanya karena kesalahpahaman kecil yang bersifat pribadi. Pangeran Bumidirja yang mengetahui bahwa keesokan paginya akan dijatuhi hukuman mati juga oleh Sang Raja, berhasil melarikan diri dari kraton bersama keluarganya.

Pelarian Pangeran Bumidirja bersama istrinya diikuti oleh tiga orang abdi setia. Perjalanan mereka menuju ke Panjer. Sesampainya di Panjer, Pangeran Bumidirja beserta rombongan diterima dengan baik oleh Pemimpin Panjer saat itu yakni Ki Gede Panjer II. Pangeran Bumidirja kemudian diberi ijin untuk menempati tanah di wilayah Panjer seluas kurang lebih 3 Pal ke selatan dan ½ Pal ke timur dari tepi sungai Luk Ula. Di tempat tersebut Pangeran Bumidirja kemudian mengganti namanya dengan sebutan Kyai Bumi/Ki Bumi agar tidak dikenal oleh para petugas kraton Mataram yang ditugaskan mencarinya. Tempat Kyai Bumi tersebut akhirnya dikenal warga dengan sebutan Kebumian yang berarti tempat tinggalnya Kyai Bumi. Kyai Bumi pun menjadi sesepuh yang sangat dihormati di tempat tersebut.

 

Tradisi Pasar Senggol Selang
Sejak kepergian Pangeran Bumidirja dari kraton, Amangkurat I memerintahkan dua orang abdi kraton untuk melakukan pencarian terhadap Pangeran Bumidirja. Utusan Raja tersebut pun akhirnya sampai di Panjer dan berhasil menemukan Pangeran Bumidirja yang ketika itu dikenal sebagai Kyai Bumi/Ki Bumi. Kedua utusan itu kemudian mengutarakan maksud kedatangannya bahwa mereka diutus untuk mencari Pangeran Bumidirja sampai ketemu, dan tidak boleh pulang tanpa membawa serta Pangeran Bumidirja. Kyai Bumi menolak untuk pulang ke kraton sehingga kedua utusan itu pun akhirnya tidak kembali ke kraton serta memilih mengabdi kepada Kyai Bumi. Oleh karena keberadaan Kyai Bumi di Kebumian Panjer telah diketahui, maka ia memutuskan untuk meninggalkan Kebumian agar keberadaannya tidak tercium  lagi oleh kraton. Kyai Bumi beserta keluarga dan para abdinya akhirnya meninggalkan Kebumian Panjer dengan berjalan kaki diikuti oleh para warga Kebumian. Sesampainya di Selang, Kyai Bumi meminta agar para warga berhenti mengikuti kepergiannya dan kembali ke tempatnya masing–masing (tradisi Pasar Senggol Selang adalah untuk mengenang peristiwa tersebut).

(Versi babad kebumen), sementara itu jika mengacu Babad Arungbinangan dan Babad Kolopakingan, tradisi pasar senggol yang berkaitan dengan kepergian bumidirdja tidak disebutkan.

Dalam Babad Sruni selang lebih ditekankan pada tokoh Kyai Kramaleksana yang memiliki anak perempuan yang sangat berani hingga menimbulkan kekaguman Pangeran Mangkubumi ketika berada di Panjer (masa perang Mangkubumen yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti) dimana setelah menjadi raja yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I, anak dari Kyai Kramaleksana Selang itu dijadikan istri dan bergelar RA. Handayasmara.

Dalam Babad Arungbinang baik versi Batavia Centrum maupun Versi Tembang, Selang lebih dikenal dengan tokoh yang bernama Kyai Jaiman yang dikenal berilmu sehingga Jaka Sangkrib pun datang ke Selang untuk berguru setelah sebelumnya berguru ke Kyai Mohammad Yusuf Bojongsari.

 

Asal Nama Lerepkebumen
Kyai Bumi beserta rombongan pun meneruskan perjalanan ke arah timur melalui jalur utara hingga berhenti di suatu tempat untuk beristirahat semalam. Daerah tersebut kemudian diberi nama Lerepkebumen atau sering disebut juga dengan Lerepbumen. Berasal dari dua kata : Lerep (bahasa Jawa yang berarti Berhenti) dan Bumen yang berasal dari nama sosok Kyai Bumi. Lerepkebumen bermakna tempat berhentinya Kyai Bumi. Setelah beristirahat semalam, rombongan Kyai Bumi melanjutkan perjalanan ke timur dan kemudian ke selatan, hingga berhenti di daerah Karang (daerah ini sekarang masuk dalam wilayah Karangrejo/Kutowinangun Kecamatan Kutowinangun Kabupaten Kebumen). Di daerah ini Kyai Bumi menjadi seorang petani.

Karena dua utusan Sultan Amangkurat I tidak kembali lagi ke Mataram, akhirnya sang Raja kembali mengutus dua orang yang benama Udakara dan Surakarti. Dikisahkan bahwa dua orang utusan tersebut pun tidak kembali ke Mataram karena takut akan dijatuhi hukuman sebab tidak bisa membawa pulang Pangeran Bumidirja. Akhirnya Udakara dan Surakarti ikut mengabdi kepada Kyai Bumi.

Kyai Bumi menetap di daerah tersebut hingga akhir hayatnya. Makamnya dikenal dengan Makam Pangeran Bumidirja. Adapun Udakara dan Surakarti dimakamkan berbeda tempat akan tetapi masih dalam satu wilayah yang kini masuk dalam wilayah desa Lundong, Kecamatan Kutowinangun.

 

Keturunan Kyai Bumi
Kyai Bumi memiliki empat orang anak yakni Kyai Gusti, Kyai Bagus, Nyai Ageng, dan Kyai Bekel. Setelah wafatnya Kyai Bumi, yang menggantikan sebagai sesepuh di daerah tersebut adalah Kyai Bekel. Kemudian diteruskan oleh putra Kyai Bekel yang bernama Kyai Ragil. Sepeninggal Kyai Ragil, sesepuh digantikan oleh anaknya  yang bernama Hanggayuda yang kemudian menjadi Demang Kutowinangun.

Kejanggalan Makam Pangeran Bumidirja
Melihat penggalan cerita yang diambil dari Babad Kebumen ini, dapat disimpulkan bahwa Pangeran Bumidirja adalah Kyai Bumi. Artinya dua nama ini merupakan satu sosok tokoh. Namun, ketika kita melihat di lokasi kompleks makam yang telah dijadikan sebagai kawasan Cagar Budaya Kebumen ini (dimana setiap tahun tepatnya pada peringatan hari jadi Kebumen selalu diziarahi oleh para petinggi pemerintahan Kabupaten Kebumen), ada sebuah kejanggalan yakni terdapatnya makam bertuliskan Pangeran Bumidirja di dalam bangunan (cungkup) dan sebuah makam bertuliskan Kyai Bumi di luar Cungkup sebelah timur. Hal ini kiranya perlu mendapat perhatian dari pihak yang terkait sebab sangat berhubungan erat dengan pelurusan pemahaman sejarah bagi generasi penerus khususnya di Kebumen.

 

Oleh: Ananda. R
Mei 2012

https://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2012/05/Tadisi-Kenduri-Nasi-Mogana-di-Lerepkebumen.jpghttps://kebumen2013.com/wp-content/uploads/2012/05/Tadisi-Kenduri-Nasi-Mogana-di-Lerepkebumen-150x150.jpgAnanda. RSejarahAsal Usul berbagai tempat di Kebumen,Catatan Sejarah Kebumen,Tempat-tempat Bersejarah di KebumenLerepkebumen adalah sebuah desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Poncowarno, Kabupaten Kebumen. Nama Lerepkebumen diambil dari sebuah peristiwa perjalanan Pangeran Bumidirja, (paman Sultan Amangkurat I) yang sebelumnya menjabat sebagai dewan Parampara (Penasehat) Kerajaan Mataram. Dikisahkan bahwa Amangkurat I (1646–1677) dalam menjalankan pemerintahan sering tidak sejalan dengan para bawahannya. Hukuman yang...Kembalinya jati diri Bangsa Indonesia yang berpancasila